BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah salah satu bangsa di dunia yang tidak dapat terlepas dari pengaruh
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengaruh itu menuntut
kemajuan dan kecanggihan cara berfikir manusia Indonesia sebagai pelaku pembangunan
di tanah air. Krisis multi dimensional yang telah melanda Indonesia selama lima
tahun terakhir mengakibatkan banyak masalah yang timbul yangmemerlukan
pemecahan dalam upaya mempertahankan eksistensi Indonesia dalam peraturan
dunia.
Upaya
ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dalam upaya meningkatkan kualitas
manusia, yaitu manusia yang mampu berperan aktif menjadi agen pembaharuan dan
pengembangan kehidupan nasional dan internasional. Dalam UU NO.20/2003 dinyatakan bahwa "pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini
mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif
dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi mudadapat berkembang
secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan
potensinya.[1]"
Realisasi
tujuan pendidikan nasional tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003,
yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab[2].
Salah
satu barometer keberhasilan mewujudkan sumber daya manusia ditandai dengan
meningkatnya kualitas pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih dinamis
dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan
tuntutan kehidupan yang serba seimbang dan selaras dalam tatanan nasional dan
internasional.
Implikasi
dari tujuan itu menuntut manusia berkualitas untuk senantiasa mampu memecahkan
masalah hidupnya secara mandiri, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam
mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. Strategi
untuk membawa manusia mampu menapaki kualitas hidupnya dapat dilakukan dengan
pendekatan pembinaan secara simultan dan profesional.
Meningkatnya
kemajuan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk serta berkurangnya
persediaan sumber-sumber alam, yang diperparah oleh timbulnya berbagai bencana
alam dan krisis moneter di negara-negara Asia sejak tahun 1997, sangat menuntut
kemampuan adaptasi bangsa ini secara skreatif dan kepiawaian mencari pemecahan
secara kreatif. Alfian dalam tulisannya yang berjudul "Segi Sosial Budaya
dari Kreativitas dan Inovasi dalam Pembangunan" menyatakan bahwa
"melalui kreativitas manusia atau masyarakat akan mampu melahirkan
gagasan-gagasan tentang kualitas kehidupan yang lebih baik. Kreativitas memungkinkan
manusia memiliki visi yang lebih jauh serta cakrawala lebih luas tentang
berbagai aspek kehidupan yang lebih bermutu.[3]"
Menurut
Sarlito Wirawan Sarwono, "gambaran manusia yang unggul mempunyaikemampuan
yang tinggi dalam kepandaian, kreativitas, dan keterampilan, serta sikapyang
dapat diandalkan.[4]"
Dalam kenyataannya, ternyata kurang sekali ditemui manusia-manusia Indonesia
yang kreatif pada masa kini. Sering kali seseorang hanyadapat meniru apa yang
sudah ada dan kurang mampu mengemukakan pendapatnya sendiri yang baru dan orisinil. Begitu
pula halnya dalam menghadapi suatu masalah, seseorang hanya terpaku pada satu
cara yang lazim dan senantiasa digunakan dalam menyelesaikannya.
Pada
hakikatnya setiap manusia sejak lahir memiliki kemampuan atau bakatkreatif,
hanya saja derajatnya yang berbeda. Ada manusia yang memiliki
tingkatkreativitas yang rendah dan ada pula yang memiliki tingkat kreativitas
yang tinggi. Davis mengemukakan bahwa "kreativitas dapat diajarkan dan
dilatih kepada setiap orang
dan ada beberapa factor yang dapat meningkatkan kreativitas seseorang melebihi tingkat yang sudah ada sebelumnya.[5]"
Conny Semiawan mengatakan bahwa "belajar kreatif berlaku untuk semua
siswa, bukan hanya siswa yang berbakat saja. Semua siswa memiliki suatu potensi kreatif. Memang,
kepemilikan potensi kreatif berbeda dari orang
ke orang. Ada yang memilikinya banyak, ada yang sedikit.
Meskipun terdapat perbedaan
tingkat pemilikan dari potensi kreatif, harus diakui bahwa semua siswamemiliki
suatu potensi untuk belajar kreatif.[6]"
Bakat
kreatif ini memerlukan pemupukan sedini mungkin, tepatnya sejak masak anak-kanak. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberikan berbagai kegiatan kreatif kepada
anak yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Anak adalah potensi sumberdaya
manusia yang merupakan penerus dan pemilik masa depan bangsa. Merupakan hal yang wajar bila sejak kecil seorang anak
diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkan bakat kreatifnya, sehingga
menjadi pola yang menetap dalam kehidupannya.
Pada
kenyataannya, dewasa ini pendidikan formal di Indonesia lebih menekankan kepada pola dan proses
berfikir yang konvergen, yaitu dalam memecahkan suatu
masalah seseorang hanya menggunakan satu cara saja untuk memperoleh satu jawaban yang benar. Proses pemikiran
yang tinggi termasuk berfikir kreatif tampaknya jarang
dilatihkan. Hal ini
disebabkan karena situasi pengajaran yang mencekam dan mencekik anak didik, di
samping adanya kecenderungan memompa otak dan memori anak-anak dengan
pendidikan verbalistis, yaitu menimbun otak dengan kata-kata, bukan pengertian.[7]"
Problematika
kreativitas pendidikan di atas mendorong penulis untuk menelitinya dalam bentuk
"tesis". Secara spesifik kajian ini diteliti untuk dielaborasi
dengan pendekatan paedagogik karena mengandung berbagai alasan, yaitu:
1.
Menurut analisis penulis adanya pengangguran, kenakalan remaja, tawuran
pelajar, dan dekadensi moral merupakan indikasi semakin rendahnya tingkat
kreativitas anak didik sehingga tidak ada kegiatan yang bermanfaat yang dapat
mereka lakukan untuk mengisi waktu-waktu senggang.
2.
Proses pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya mencapai
tujuan pembelajaran, salah satu di antaranya adalah pengembangan kreativitas
siswa.
3.
Lingkungan madrasah dijadikan
objek penelitian karena pendidik di madrasah
telah dibekali seperangkat ilmu dan
keterampilan tentang kependidikan dan peserta didik usia madrasah sedang
berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang dinamis.
4.
Kreativitas dijadikan objek penelitian karena proses pembelajaran yang selama
ini berlangsung di madrasah belum
mampu meningkatkan kreativitas anak didik sehingga anak didik tidak mempunyai
kepribadian yang kreatif. Realisasi langkah selanjutnya perlu dikembangkan
suatu konsep proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas siswa di
lingkungan madrsah sehingga
dapat membentuk kepribadian yang kreatif. Dan pada akhirnya masalah
pengangguran, kenakalan remaja, tawuran pelajar, dekadensi moral, narkoba dan
pergaulan bebas seperti yang terjadi sekarang ini dapat diminimalisasi di masa
mendatang.
Di
samping itu, aspek ini diambil sebagai fokus pembahasan karena sebagian besar
dari manuskrip yang muncul sekarang ini lebih banyak membahas hubungan proses
pembelajaran dengan hasil belajar yang terutama mengukur kemampuan kognitif
siswa. Sedangkan proses pembelajaran yang dihubungkan dengan pengembangan
kreativitas, khususnya di madrasah
belum
banyak dijamah oleh peneliti lain.
B.
Batasan dan RumusanMasalah
Berbagai
masalah yang telah diidentifikasi di atas tampaknya sangat banyak dan kompleks.
Penulis tentu tidak dapat meneliti seluruh masalah tersebut secara komprehensif.
Oleh karena itu, penulis membatasi berbagai permasalahan tersebut pada
permasalahan yang terkait dengan pengembangan kreativitas dalam proses
pembelajaran di MA Sejahtera dalam hal ini dihubungkan dengan system pendidikan
yang berlaku di madrasah tersebut
selama kurun waktu penelitian.
Berbagai
permasalahan yang akan diteliti terbatas pada upaya untuk mengetahuiefektivitas
proses pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa di MA Sejahtera yang
meliputi program pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa, upaya yang
ditempuh kepala madrasah dalam
meningkatkan kompetensi guru, usaha yang ditempuh guru dalam proses
pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa, desain lingkungan belajar
dalam usaha pengembangan kreativitas, aktivitas siswa di madsarash dalam usaha
pengembangan kreativitas, metode pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas
siswa, evaluasi hasil belajar untuk mengembangkan kreativitas siswa, kendala
yang dihadapi dan langkah pemecahannya dalam upaya pengembangan kreativitas
siswa, dan tingkat keberhasilan yang telah dicapai dalamupaya pengembangan
kreativitas siswa.
Sesuai
dengan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang diteliti dapat dirumuskan
sebagai berikut: "Bagaimanakah efektivitas proses pembelajaran dalam
pengembangan kreativitas siswa di MA Sejahtera.
Agar
masalah tersebut dapat dijawab secara operasional, maka ruang lingkup penetapan
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah program pembelajaran yang diterapkan untuk pengembangan
kreativitas siswa?
2.
Usaha apakah yang ditempuh guru dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Sesuai
dengan masalah yang disebutkan di atas, maka secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektivitas proses pembelajaran dalam pengembangan
kreativitas siswa di MA Sejahtera. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui program pembelajaran
dalam pengembangan kreativitas siswa.
2.
Untuk mengkaji usaha yang ditempuh guru dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa.
2.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah:
1. Dapat
berguna bagi pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia, terutama yang
berkaitan dengan kreativitas siswa
2. Dapat
berguna sebagai sumber rujukan bagi para praktisi pendidikan dalam menciptakan
proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas siswa.
D. Definisi Operasional
Untuk menghindari salah tafsir maka penulis
menyajikan batasan istilah sebagai berikut:
1.
Kreativitas adalah kemampuan untuk
berkreasi, daya mencipta
2.
Proses
pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan
ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap
dan kepercayaan pada peserta didik.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengembangan Kreativitas
1.Pengertian
Kreativitas
Istilah
kreativitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu to create yang berarti menciptakan,
menimbulkan, dan membuat. Dari
kata to create terbentuk kata benda creativity yang berarti daya cipta[8].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kreativitas diartikan dengan kemampuan
untuk mencipta, daya cipta, perihal berkreasi, dan kekreatifan[9]. Muhammad
Abdul Jawwad mengartikan kreativitas secara etimologis dengan memunculkan
sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya[10].
Secara terminologis kreativitas memiliki banyak
pengertian seperti yang
dikemukakan para tokoh
berikut ini:
1.
Sudarsono mengartikan kreativitas adalah
kemampuan mencipta atau kemampuan mencapai pemecahan/jalan keluar yang sama
sekali baru, asli, dan imajinatif terhadap masalah yang bersifat pemahaman,
filosofis, estetis ataupun yang lainnya[11].
2.
S.C. Utami Munandar mengartikan
kreativitas adalah kemampuan membuat kombinasi baru berdasarkan data,
informasi, atau unsur-unsur yang ada[12].
3.
John W. Haefele dalam Creativity and Innovation mengartikan kreativitas adalah kemampunan membuat kombinasi-kombinasi
baru yang bernilai sosial[13].
Dari
definisi tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kreativitas adalah
kemampuan untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan
untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang bisa diterima
oleh komunitas tertentu atau bisa diakui oleh mereka sebagai sesuatu yang
bermanfaat.
Sesuatu
yang diciptakan itu tidak perlu hal-hal yang baru sama sekali, tetapi merupakan
gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Yang dimaksud
dengan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada, dalam arti sudah ada sebelumnya,
atau sudah dikenal sebelumnya adalah semua pengalaman yang telah diperoleh
seseorang selama hidupnya. Di sini termasuk segala pengetahuan yang diperolehnya,
baik selama di madrasah maupun
yang dipelajarinya dalam keluarga dan masyarakat[14]. Jelaslah,
makin banyak pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang, makin memungkinkan dia
memanfaatkan dan menggunakan segala pengalaman dan pengetahuan tersebut untuk
bersibuk diri secara kreatif.
Berpikir
kreatif atau berpikir divergen diartikan dengan kemampuan–berdasarkan data atau informasi yang
tersedia–menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya
adalah pada kuantitas, ketepatgunaan dan keragaman jawaban. Makin banyak
kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap suatu masalah, makin
kreatiflah seseorang. Tentu saja jawaban-jawaban itu harus sesuai dengan masalah-masalahnya. Jadi
tidak semata-mata banyaknya jawaban yang dapat diberikan, tetapi juga kualitas
atau mutu dari jawaban itu[15].
Joyce
Wycoff mengartikan kreativitas dengan melihat hal-hal yang juga dilihat orang lain di sekitar kita, tetapi
membuat keterkaitan–keterkaitan yang tak terpikirkan oleh orang lain[16]. Kreatif
berarti mampu menemukan solusi yang baru dan bermanfaat. Orang yang kreatif
membawa makna atau tujuan baru dalam suatu tugas, menemukan penggunaan baru, menyelesaikan masalah,
atau memberikan nilai tambah ataukeindahan. Oleh karena itu, baik menjadi ibu
rumah tangga maupun penulis, orang bisa kreatif. Kreativitas
bermanfaat, baik bagi orang tua yang mengurus anaknya, seorang seniman yang
sedang melukis, maupun pengusaha yang sedang menciptakan produk baru.
Mengembangkan
kreativitas anak didik meliputi segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pengembangan kognitif antara lain dilakukan dengan merangsang kelancaran, kelenturan, dan keaslian
dalam berpikir. Pengembangan afektif, dilakukan dengan memupuk sikap dan minat
untuk bersibuk diri secara kreatif. Pengembangan psikomotorik, dilakukan dengan
menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memungkinkan siswa
mengembangkan keterampilannya dalam membuat karya-karya yang produktif dan
inovatif
2. Ciri-ciri Kepribadian Kreatif
Salah
satu hal yang menentukan sejauh mana seseorang itu kreatif adalah kemampuannya
untuk dapat membuat kombinasi baru dari hal-hal yang sudah ada. Orang yang kreatif dapat membuat aneka
ragam benda dengan menggunakan bahan-bahan
yang sudah ada, baik bahan itu masih terpakai atau sudah bekas. Karya-karya
unggul hasil pemikiran para ilmuwan dan penemu pada dasarnya bukan merupakan
sesuatu yang baru sama sekali, tetapi merupakan kombinasi dari gagasan–gagasan
atau unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas mereka terletak pada
keberhasilan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang sudah ada
sebelumnya menjadi sesuatu yang bermakna dan bermanfaat.
Itu
semua karena orang yang kreatif memiliki kebebasan berpikir dan bertindak. Kebebasan itu berasal dari diri sendiri,
termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengendalikan diri dalam mencari
alternatif yang memungkinkan untuk mengaktualisasikan potensi kreatif yang
dimilikinya.
Joyce
Wycoff[17] menyatakan
sebagian besar penelitian menunjukkan empat ciri khas orang kreatif, yaitu:
1. Keberanian
Orang kreatif berani
menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadapi resiko kegagalan. Mereka penasaran ingin
mengetahui apa yang akan terjadi.
2. Ekspresif
Orang kreatif tidak
takut menyatakan pemikiran dan perasaannya. Mereka mau menjadi dirinya sendiri.
3. Humor
Humor berkaitan erat
dengan kreativitas. Jika
kita menggabungkan hal-hal sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda, tak
terduga, dan tidak lazim, berarti kita bermain-main dengan humor. Menggabungkan
berbagai hal dengan cara yang baru dan bermanfaat akan menghasilkan
kreativitas.
4. Intuisi
Orang
kreatif menerima intuisi sebagai aspek wajar dalam kepribadiannya. Mereka paham
bahwa intuisi umumnya berasal dari sifat otak kanan, yang memiliki pola komunikasi
berbeda dengan belahan otak kiri.
Ciri
psikologis lain yang umumnya dimiliki oleh orang kreatif sebagaimana
diidentifikasi David N. Perkins adalah:
1. Dorongan
untuk menemukan keteraturan dalam keadaan kacau balau;
2. Minat
menemukan masalah yang tidak umum, juga penyelesaiannya;
3.
Kemampuan membentuk kaitan-kaitan baru, dan menentang anggapan tradisional;
4. Kemampuan menyeimbangkan kreasi, gagasan
dengan pengujian dan penilaian;
5.
Hasrat untuk melenyapkan berbagai hal yang membatasi kemampuan mereka;
6.
Termotivasi oleh masalah/tugas itu sendiri, bukannya oleh keuntungan lain,
seperti uang, jabatan, atau popularitas[18].
Berdasarkan
ciri-ciri orang kreatif di atas dapat dipahami bahwa apabila seseorang telah menemukan
kreativitasnya, mereka cenderung menjadi mandiri karena memiliki keberanian untuk melakukan
sesuatu, percaya diri, berani mengambil risiko, memiliki
kemauan yang tinggi dalam mencapai sesuatu, antusias/bersemangat, spontan, suka berpetualang, cermat,
selalu ingin tahu, humoris, suka bermain, dan polos
seperti anak-anak.
Ciri-ciri
orang kreatif juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam berpikir. Orang yang kreatif
mampu untuk berpikir kreatif. Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam[19] mengemukakan ada beberapa ciri dari
kemampuan berpikir kreatif, yaitu:
1. Kelancaran berpikir
(fluency of thinking)
Yaitu
kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran
berpikir yang ditekankan adalah kuantitas bukan kualitas.
2. Keluwesan (flexibility)
Yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide,
jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervarisasi, dapat melihat
suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau
arah yang berbeda-beda, dan mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau
cara pemikiran. Orang kreatif adalah orang yang luwes
dalam berpikir. Mereka dengan mudah meninggalkan cara
berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
3. Elaborasi
(elaboration)
Yaitu
kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detil-detil
dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
4. Keaslian (originality)
Yaitu
kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa orang yang kreatif memiliki kelancaran dalam berpikir.
Guilford[20]
menyimpulkan bahwa ada empat bentuk kelancaran berpikir yangdimiliki oleh orang
kreatif, yaitu:
1.
Kelancaran kata (word fluency),
yaitu kemampuan untuk menghasilkan kata-kata dari satu huruf atau kombinasi huruf-huruf.
2. Kelancaran asosiasi (assosiational fluency)
Indikasi yang paling
baik untuk kelancaran asosisasi adalah suatu tes yang meminta testi untuk menghasilkan persamaan
sebanyak-banyaknya dari kata-kata yang diberikan dalam
waktu yang terbatas. Kata-kata yang diberikan harus mempunyai arti.
3.Kelancaran ekspresi (expressional fluency)
Tes yang meminta testi
untuk menghasilkan kalimat-kalimat. Ciri khas tes yang mengungkap kemampuan
ini adalah kata-kata harusdisusun dengan cepat dan harus memenuhi syarat tata
bahasa.
4. Kelancaran
gagasan (ideational fluency)
Yaitu kemampuan untuk
menghasilkan ide-ideyang memenuhi beberapa syarat dalam waktu yang terbatas. Dalam setiap tes yang mengungkap kelancaran gagasan yang
terpenting adalah kecepatan menjawab, sedangkan kualitas jawaban tidak begitu
dipermasalahkan.
Mengenai
keluwesan berpikir Guilford menyatakan bahwa orang kreatif adalah orang yang fleksibel dalam berpikir.
Mereka dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantinya
dengan cara berpikir baru dengan mudah. Oleh karena itu, Guilford kemudian meramalkan adanya faktor
keluwesan atau flexibility sebagai salah satu faktor yang merupakan ciri kreativitas. Ada
dua bentuk yang lebih spesifik dalam keluwesan berpikir,
yaitu keluwesan spontan (spontaneous flexibility) dan keluwesan adaptif (adaptive
flexibility). Perbedaan antara keduanya adalah pada keluwesan spontan orang tetap fleksibel meskipun tidak dituntut
untuk fleksibel, sedangkan pada keluwesan adaptif orang
akan fleksibel karena lingkungan menuntut demikian[21].
Kemampuan
elaborasi dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui ketika seseorang menjelaskan sesuatu kepada
orang lain menjadi lebih terinci, lebih mudah dipahami
dan lebih menarik yang meliputi pengertian, bagian-bagian, sebab-sebab, serta akibat-akibat dari sesuatu.
Ciri-ciri afektif yang dimiliki oleh siswa adalah:
1. Rasa
ingin tahu
Rasa ingin tahu
didefinisikan dengan selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak, mengajukan banyak pertanyaan, selalu
memperhatikan orang, objek, dan situasi, dan peka dalam
pengamatan dan ingin mengetahui. Adapun perilaku yang tampak pada rasa ingin tahu adalah mempertanyakan segala sesuatu,
senang menjajaki buku, peta, gambar, dan sebagainya
untuk mencari gagasan baru, tidak membutuhkan dorongan untuk mencoba sesuatu yang belum dikenal, menggunakan
semua panca inderanya untuk mengenal, tidak takut menjajaki bidang baru, ingin
mengamati perubahan-perubahan, dan ingin bereksperimen dengan benda-benda
mekanik.
2. Bersifat Imajinatif
Bersifat Imajinatif
didefinisikan dengan mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang tidak
atau belum pernah terjadi dan menggunakan khayalan, tetapi mengetahui perbedaan
antara khayalan dan kenyataan. Adapun perilaku yang tampak pada sifat
imajinatif adalah memikirkan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum
pernah terjadi, memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan orang lain, meramalkan apa yang akan dikatakan atau dilakukan orang
lain, mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum terjadi, melihat hal-hal
dalam suatu gambar yang tidak dilihat orang lain, dan membuat cerita tentang
tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi atau kejadian-kejadian yang belum
pernah dialami.
3.Merasa tertantang oleh kemajemukan
Merasa tertantang oleh
kemajemukan didefinisikan dengan terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit,
merasa tertantang oleh situasi yang sulit, dan lebih tertarik pada tugas yang
sulit. Adapun perilaku yang tampak pada sikap merasa tertantang oleh
kemajemukan adalah menggunakan gagasan atau masalah yang sulit, melibatkan diri
dalam tugas yang majemuk, tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan
keadaannya, mencari penyelesaian tanpa bantuan orang lain, tidak cenderung
mencari jalan termudah, berusaha terus-menerus agar berhasil, mencari jawaban-jawaban yang lebih sulit daripada
menerima yang mudah, dan senang menjajaki jalan yang lebih rumit.
4. Berani mengambil risiko
Berani mengambil risiko
didefinisikan dengan berani memberikan jawaban meskipun belum tentu benar,
tidak takut gagal atau mendapat kritik, dan tidak menjadi ragu-ragu karena
ketidak jelasan, tidak konvensional atau kurang
berstruktur. Adapun perilaku yang tampak pada sikap berani mengambil risiko
adalah berani mempertahankan gagasannya walaupun mendapat kritik,mengakui
kesalahan-kesalahannya, berani menerima tugas yang sulit meskipun ada
kemungkinan gagal, berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang
tidak dikemukakan orang lain, tidak mudah dipengaruhi orang lain, melakukan
hal-hal yang diyakini meskipun tidak disetujui sebagian orang, berani mencoba
hal-hal baru, dan berani mengakui kegagalan dan berusaha lagi.
5. Sifat Menghargai
Sifat menghargai
didefinisikan dengan dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup dan
menghargai kemampuan dan bakat yang sedang berkembang. Adapun perilaku yang
tampak pada sifat menghargai adalah menghargai hak-hak sendiri dan orang lain,
menghargai diri dan prestasi sendiri, menghargai makna orang lain, menghargai
keluarga, madrasah,
dan teman-teman, menghargai kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut
tanggung jawab, tahu apa yang betul-betul penting dalam hidup, menghargai
kesempatan yang diberikan, dan senang terhadap penghargaan yang diberikan
kepada dirinya.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Kreativitas
Pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga (orang tua), madrasah, dan masyarakat. Ketiga lingkungan
pendidikan tersebut berpengaruh dalam perkembangan
anak, termasuk dalam hal kreativitas.
a. Lingkungan Madrasah
Dengan
memasuki lingkungan pendidikan
madrasah,
seorang anak akan mengalami berbagai
perubahan. Ia harus patuh pada tuntutan tokoh otoritas baru, yaitu guru. Ia
banyak berkenalan dan berhubungan dengan banyak anak seusia. Untuk sementara
waktu ia harus terpisah dari keluargaya. Semua itu akan membawa dampak yang
besar terhadap sikap dan perilaku
seorang anak.
Guru
di madrasah memiliki
peran yang sangat penting terhadap perkembangan intelektual,
emosional dan sosial siswa. Guru membantu pembentukan nilai-nilai padasiswa,
misalnya nilai hidup, nilai moral, dan nilai sosial. Guru juga berperan dalam menentukan
tujuan belajar, memilihkan pengalaman belajar, menentukan metode, dan strategi
mengajar dan yang paling penting menjadi model perilaku bagi siswa.
Peranan
guru tersebut tidak hanya berdampak pada prestasi belajar siswa, tetapi juga
berdampak pada sikap siswa terhadap madrasah
dan
belajar pada umumnya. Guru dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, motivasi, harga
diri, dan kreativitas dalam diri seorang siswa. Bahkan guru dapat berpengaruh
lebih besar daripada orang tua karena guru mempunyai tugas mengevaluasi
pekerjaan, sikap, dan perilaku siswa.
Mengenai
peran guru terhadap pengembangan kreativitas siswa S.C. Utami Munandar
mengemukakan bahwa guru dapat melatih keterampilan bidang pengetahuan dan
keterampilan teknis dalam bidang khusus, seperti bahasa, matematika, atau seni.
Guru juga dapat mengajarkan keterampilan kreatif seperti cara berpikir
menghadapi masalah secara kreatif atau teknik-teknik untuk memunculkan gagasan–gagasan
orisinil. Keterampilan ini dapat diajarkan secara langsung, tetapi paling baik
disampaikan melalui contoh[22].
Cara
yang paling baik bagi guru untuk mengembangkan kreativitas siswa adalah dengan
mendorong motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik akan tumbuh jika guru menjadi
model untuk motivasi intrinsik dengan mengungkapkan secara bebas
keingintahuannya, minatnya, dan tantangan pribadi untuk memecahkan masalah atau
melakukan tugas dan memungkinkan anak untuk bisa otonom sampai batas tertentu
di kelas[23].
Seorang
guru yang mendorong otonomi siswa menggunakan pendekatan member gagasan, saran,
dan bimbingan, tetapi tidak memberi jawaban dan petunjuk eksplisit dan hasilnya siswa menjadi sangat
kreatif. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencetuskan gagasan
sendiri. Ia mengatakan kepada siswa untuk bekerja sama bila mungkin dan perlu,
tetapi menekankan bahwa setiap siswa mempunyai bakat dan kekuatannya
sendiri-sendiri karena setiap siswa bersifat unik[24].
Setiap
siswa harus belajar semua bidang keterampilan di madrasah , dan siswa memperoleh keterampilan
kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif. Penelitian
menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berpikir dan bekerja
kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar. Dalam suasana non-otoriter,
ketika belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang karena guru menaruh
kepercayaan terhadap kemampuan siswa untuk berpikir dan berani mengemukakan
gagasan baru, dan ketika siswa diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan
minat dan kebudayaannya, maka kemampuan kreatif dapat berkembang. Keadaan
sebaliknya terjadi jika dalam proses pembelajaran siswa berada dalam suasana otoriter,
yang terlalu didominasi oleh guru. Siswa merasa tertekan dan takut untuk
mengemukakan pendapat. Siswa bekerja tidak sesuai dengan minat dan
kebudayaannya sehingga kemampuan kreatif menjadi terhambat.
Dengan
demikian, yang dapat dilakukan guru adalah mengembangkan sikap dan kemampuan siswa
yang dapat digunakannya dalam menghadapi persoalan-persoalan dimasa mendatang
secara kreatif dan inovatif. Memberikan bahan pengetahuan semata-mata tidak
akan menolong siswa, karena belum tentu di masa mendatang ia dapat menggunakan pengetahuan
tersebut.
Davis,
sebagaimana dikutip S.C. Utami Munandar mengungkapkan ada beberapa sciri guru untuk
membentuk siswa yang kreatif, yaitu demokratis, ramah dan memberi perhatian
perorangan, sabar, minat luas, penampilan menyenangkan, adil, tidak
memihak,mempunyai rasa humor, perilaku konsisten, memberi perhatian terhadap
masalah anaksikap luwes, menggunakan pujian dan penghargaan, dan mempunyai
kemahiran dalam mengajarkan subjek tertentu[25].
Dari
ciri-ciri guru tersebut, jelas bahwa untuk membentuk siswa yang kreatif dibutuhkan
guru yang tidak hanya menguasai bahan pelajaran, tetapi juga harus didukung oleh
kepribadian yang baik dan kemampuan profesional seorang guru. Untuk itu,
seorang guru harus selalu menambah ilmu dan pengalamannya serta mau belajar
dari pengalamannya itu. Pengetahuan aktual yang dimiliki guru akan menarik
minat siswasehingga pelajaran yang disampaikan guru akan menimbulkan rangsangan
yang efektif bagi belajar
siswa. Begitu pula dengan pujian yang diberikan guru akan memotivasi siswa untuk terus belajar. Lain halnya jika
guru selalu mengkritik dan mencela, kreativitas dan keaktifan siswa, baik fisik
maupun psikis akan terhambat.
Dalam
kelas yang menunjang kreativitas, guru menilai pengetahuan dan kemauan siswa melalui interaksi yang
berkesinambungan dengan siswa. Pekerjaan siswa dikembalikan dengan banyak
catatan dari guru, terutama menampilkan segi-segi yang baik dan yang kurang
baik dari pekerjaan siswa. Secara berkala guru memberikan catatan tentang kemajuan
siswa untuk orang tua. Sebelum menulis laporan untuk orang tua, guru membicarakan
secara perorangan dengan setiap siswa, dengan tidak hanya memberikan pendapat guru, tetapi juga meminta
pandangan siswa[26].
Guru
dapat pula mengikutsertakan siswa untuk menilai pekerjaan mereka sendiri. Selain
itu, guru menunjukkan pengertian bahwa siswa mengalami masalah dalam mengerjakan
soal-soal tertentu dan mengajaknya mencari cara lain supaya siswa dapat memahami kesalahan-kesalahan yang
dibuat. Siswa juga harus memahami makna dari membuat kesalahan. Dari kesalahan
itu siswa dapat belajar. Seyogianya siswa tidak perlu menyembunyikan
kesalahan-kesalahannya atau merasa terganggu karenanya.
b. Lingkungan keluarga
Keluarga
sebagai lingkungan terkecil dalam suatu masyarakat dan merupakan lingkungan
pertama dan utama dalam kehidupan manusia tak bisa diabaikan peranannya dalam
mempengaruhi perkembangan fisik dan mental seseorang. Dalam interaksi sehari-hari seorang anak dengan orang tuanya
akan membawa dampak yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangannya di masa
mendatang.
S.C.
Utami Munandar[27]mengemukakan
ada beberapa sikap orang tua yang dapat memupuk kreativitas anak, yaitu:
1. Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk
mengungkapkannya
2. Memberi waktu kepada anak untuk berpikir,
merenung, dan berkhayal
3. Membolehkan anak mengambil keputusan sendiri
4.
Mendorong kemelitan (keingintahuan) anak untuk menjajaki dan mempertanyakan
halhal
5.
Meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa yang ingin dicoba dilakukan dan
apa yang dihasilkan
6. Menunjang dan mendorong kegiatan anak
7. Menikmati keberadaannya bersama anak
8. Memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak
9. Mendorong kemandirian anak dalam bekerja
10. Menilai hubungan kerjasama yang baik dengan anak
Orang
tua juga harus memperhatikan sikapnya yang dapat menghambat kreativitas anak sebagaimana diungkapkan S.C. Utami
Munandar[28]
sikap orang tua yang menghambat
kreativitas anak tersebut adalah:
1. Mengatakan kepada anak bahwa ia dihukum jika
berbuat salah
2. Tidak membolehkan anak marah kepada orang tua
3. Tidak membolehkan anak mempertanyakan keputusan
orang tua
4.
Tidak membolehkan anak bermain dengan anak dari keluarga yang mempunyai pandangan dan nilai yang berbeda dari keluarga
anak
5. Anak tidak boleh berisik
6. Orang tua ketat mengawasi kegiatan anak
7. Orang tua memberi saran-saran spesifik tentang
penyelesaian tugas
8. Orang tua kritis terhadap anak dan menolak
gagasan anak
9. Orang tua tidak sabar dengan anak
10. Orang tua dan anak adu kekuasaan
11. Orang tua menekan dan memaksa anak untuk
menyelesaikan tugas
Hendaknya
orang tua dapat mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan mental
dan suasana di mana anak merasa tertarik dan tertantang untuk mewujudkan bakat dan kreativitasnya.
Menurut Utami Munandar[29]
kondisi ini akan tercipta apabila:
1.
Orang tua menunjukkan minat terhadap hobi tertentu, untuk membaca dan
menyediakan cukup bahan bacaan yang bervariasi
2.
Orang tua menyempatkan diri mendiskusikan dengan anak bacaan tertentu atau
masalah-masalahyang terjadi dalam lingkungan mereka
3.
Orang tua mengusahakan alat-alat permainan yang mendidik dan merangsang
kreativitas anak. Permainan
konstruktif yang memungkinkan anak berkreasi tidak perlu mahal, misalnya
balok-balok kayu.
4.
Orang tua menciptakan lingkungan rumah di mana orang tua berperan serta dalam kegiatan
intelektual atau dalam permainan yang meningkatkan daya pikir anak, seperti main
dam, main catur, dan sebagainya.
5.
Orang tua menciptakan lingkungan di mana orang tua mengajak anak untuk
menyanyi, menggambar,
melukis, memainkan alat musik, dan sebagainya. Jadi, bukan kegiatan intelektual
semata.
6.
Tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya, orang tua dapat menjadikan rumah sebagai "pusat kreativitas" bagi anak,
di mana anak sendiri atau bersama beberapa teman lainnya dapat bersibuk diri
secara kreatif.
Orang
tua hendaknya mau mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
anak. Pupuklah rasa ingin tahu anak dengan memberi jawaban-jawaban selengkap
mungkin yang dapat diberikan. Berilah anak kesempatan untuk bermain dengan
teman-temannya, bertemu dengan orang lain, dan melihat tempat-tempat yang dapat
memuaskan rasa ingin tahunya dan yang dapat menantang kecerdasan dan kreativitasnya,
seperti museum, perpustakaan, tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat kesenian,
dan sebagainya.
Orang
tua hendaknya mampu memupuk kemandirian, kepercayaan diri, dan rasa tanggung jawab anak. Oleh karena itu,
jika anak ingin dan dapat melakukan sesuatu sendiri, berilah kesempatan kepada
anak untuk melakukan hal itu. Penelitian–penelitiandi luar negeri menunjukkan
bahwa ibu-ibu dari anak-anak yang kreatif membiarkan anak mengambil keputusan
sendiri[30].
Dari
uraian di atas, jelas bahwa untuk membentuk anak yang kreatif, lingkungan keluarga sangat berperan, khususnya
orang tua yang merupakan pendidik utama dalam lingkungan keluarga. Untuk itu orang tua dituntut untuk
bersikap dan berperilaku yang dapat
menunjang kreativitas anak dan melengkapinya dengan sarana yang memadai.
c. Lingkungan masyarakat
Di
samping lingkungan madrasah dan
keluarga, kreativitas seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat
karena setiap individu selaku makhluk social tidak dapat melepaskan dirinya
dari pergaulan di masyarakat. Sebagai lingkungan yangterbesar, masyarakat
membentuk satu kebudayaan yang dihasilkan dari berbagai pandangan dan cara
hidup para anggotanya. Kebudayaan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
diri setiap individu dalam masyarakat itu.
Arieti
sebagaimana dikutip Utami Munandar[31]
mengemukakan ada sembilan factor sosiokultural yang dapat menunjang
pengembangan kreativitas, yaitu:
1. Tersedianya sarana dan prasarana kebudayaan
2. Keterbukaan terhadap rangsangan kebudayaan
3.
Penekanan pada becoming (menjadi, tumbuh), tidak semata-mata pada being
(sekadar berada)
4.
Kesempatan bebas terhadap media kebudayaan bagi semua warga, tanpa diskriminasi
5. Kebebasan dengan pengalaman tekanan dan rintangan
sebagai tantangan
6.
Menghargai dan dapat memadukan rangsangan dari kebudayaan lain yang berbeda, bahkan yang kontras sekalipun
7. Toleransi dan minat terhadap pandangan yang
berbeda (divergen)
8. Interaksi antar pribadi yang berarti dalam
pengembangan bakat
9. Adanya insentif, penghargaan, dan penguatan.
Tersedianya sarana dan prasarana
kebudayaan akan memudahkan seseorang untuk mengembangkan bakat dan
kreativitasnya. Seorang anak akan sulit mengembangkan kreativitasnya jika ia
hidup dalam lingkungan masyarakat yang tidak memiliki sarana dan prasarana kebudayaan yang mendukung
kreativitasnya itu. Begitu pula dengan kebudayaan yang hanya mengutamakan
kepuasan dan kesenangan langsung tidak akan menumbuhkan kreativitas. Manusia yang kreatif
menyadari bahwa kreativitas adalah sesuatu yang tumbuh dan membutuhkan masa
kini maupun masa depan.
Masyarakat sebagai keseluruhan hendaknya
memiliki toleransi terhadap ide-ide, cara-cara, dan pola-pola yang divergen
karena hal itu akan berdampak positif bagi pengembangan
kreativitas. Suatu ciptaan akan lebih dapat diterima dan dihargai bila
orangdapat merasakan lebih banyak manfaat dari ciptaan itu. Orang pun akan
merasa tergugah untuk
terus berkarya jika ide dan karya yang dihasilkannya dihargai dan dimanfaatkan
oleh orang secara luas.
Di
samping faktor lingkungan yang merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
kreativitas, faktor dari dalam diri individu (internal) juga berpengaruh kuat terhadap pengembangan
kreativitas. Di antara faktor internal yang dapat mendukung pengembangan kreativitas adalah
keterbukaan individu terhadap pengalaman sekitarnya, kemampuan untuk
mengevaluasi hasil yang diciptakan, dan kemampuan untuk menggunakan elemen dan
konsep yang ada.
Rogers
sebagaimana dikutip Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam[32] mengatakan bahwa kondisi internal
yang memungkinkan timbulnya proses kreatif adalah:
Pertama, keterbukaan terhadap pengalaman,
terhadap rangsangan–rangsangan dari luar maupun dari dalam. Keterbukaan
terhadap pengalaman adalah kemampuan menerima segala sumber informasi dari
pengalaman hidupnya sendiri. Dengan demikian, individu yang kreatif adalah individu yang
menerima dan menghargai perbedaan.
Kedua, evaluasi internal yaitu pada
dasarnya penilaian terhadap produk karya seseorang terutama ditentukan oleh
diri sendiri, bukan karena kritik dan pujian orang lain. Walaupun demikian,
individu tidak boleh tertutup dari masukan dan kritikan orang lain.
Ketiga, kemampuan untuk bermain dan
bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, dan konsep-konsep yang ada
atau kemampuan untuk membentuk kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Orang yang
memiliki ketiga kondisi di atas kesehatan psikologisnya sangat baik.
Orang
ini dapat berfungsi sepenuhnya, menghasilkan karya-karya kreatif, dan hidup
secara kreatif. Ia
memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri terhadap setiap situasi
dan untuk melakukan apa yang perlu untuk mencapai tujuannya.
Faktor
kepribadian juga turut berpengaruh terhadap kreativitas seseorang. Orang yang
memiliki kepercayaan diri, kebebasan berekspresi, tegas dan terbuka tanpa mengecilkan
dan mengesampingkan arti orang lain, dan berani bertanggung jawab akan berdampak
positif bagi kelancaran berpikir, keluwesan berpikir dan originalitas[33]. Kepribadian
mereka memungkinkan mereka bergerak ke berbagai sisi kehidupan jika situasi
menuntut tanpa mengalami konflik dalam dirinya. Juga memiliki keinginan yang kuat
untuk mencoba aktivitas baru yang menantang.
Hal ini sesuai dengan Firman
Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang mengubahnya." (QS
Al-Ra'd: 11)
Mengenai
anggapan bahwa inteligensi telah mencerminkan kreativitas seseorang tidak
sepenuhnya benar. Walaupun inteligensi merupakan salah satu faktor internal
yang mempengaruhi kreativitas, tetapi peningkatan inteligensi tidak selalu
diikuti oleh peningkatan kreativitas[34]. Hal
itu dapat ditemui pada orang yang ber-IQ tinggi, ketika diberikan tes
kreativitas, ternyata memperoleh skor yang rendah.
B.
Proses Pembelajaran
1. Pengertian Proses Pembelajaran
Konsep
belajar (learning) dan pembelajaran (instruction) merupakan dua buah konsep
kependidikan yang saling berkaitan. Konsep belajar berakar pada pihak peserta
didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik (guru) dan keduanya
bisa berdiri sendiri dan juga menyatu, tergantung kepada situasi dari kedua
kegiatan itu terjadi. Pembelajaran
biasanya terjadi dalam situasi formal yang secara sengaja diprogramkan oleh
guru dalam usahanya mentransformasikan ilmu kepada peserta didik, berdasarkan
kurikulum dan tujuan yang hendak dicapai[35].
Melalui
pembelajaran peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan rencana
pengajaran yang telah diprogramkan. Dengan demikian, unsur kesengajaan melalui
perencanaan oleh pihak guru merupakan ciri utama pembelajaran. Upaya
pembelajaran yang berakar pada pihak guru dilaksanakan secara sistematis yaitu
dilakukan dengan langkah-langkah teratur dan terarah secara sistematik yaitu secara utuh dengan memperhatikan
berbagai aspek. Maka konsep belajar dan pembelajaran merupakan dua kegiatan
yang berproses dalam suatu sistem[36].
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa fungsi pembelajaran adalah merangsang dan menyukseskan
proses belajar dan untuk mencapai tujuan, sedangkan fungsi belajar adalah dapat
memanfaatkan semaksimal mungkin sumber belajar untuk mencapai tujuan belajar,
yaitu terjadinya perubahan dalam diri peserta didik. Untuk memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai konsep belajar dan pembelajaran , berikut dipaparkan
kedua konsep itu.
a. Pengertian Belajar
Banyak
ahli pendidikan yang mengemukakan tentang pengertian belajar. Menurut Kimble
dan Garmezi sebagaimana dikutip Nana Sudjana bahwa belajar adalah perubahan
tingkah laku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan
Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah
laku yang orisinil melalui pengalaman dan latihan[37]. James
O. Wittaker menyatakan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana
tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman[38]. Sedangkan
Winkel mengartikan belajar adalah suatu proses mental yang mengarah kepada
penguasaan pengetahuan atau skill, kebiasaan, atau sikap yang semuanya
diperoleh, disimpan, dan dilaksanakan sehingga menimbulkan
tingkah laku yang progresif dan adaptif[39].
Dari
definisi belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar itu merupakan
perubahan tingkah laku atau penampilan melalui pengalaman dan latihan yang
dilakukan manusia selama hidupnya melalui kegiatan membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Semua aktivitas dan prestasi hidup
manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Karena itu belajar berlangsung
secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk
mencapai suatu tujuan. Dengan kata lain, belajar itu akan menjadi lebih baik
jika subjek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat
verbalistik.
Belajar
adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.
Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai
bentuk seperti berubahnya pengetahuan, sikap, tingkah laku, keterampilan,
kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu
yang belajar. Jadi, dengan proses belajar itu manusia akan mengalami perubahan
secara menyeluruh meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah.
Menurut
teori Ilmu Jiwa Gestalt, belajar ialah mengalami, berbuat, bereaksi, dan
berpikir secara kritis. Pandangan
ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa jiwa manusia bukan terdiri dari
elemen-elemen, tetapi merupakan satu sistem yang bulat dan berstruktur. Jiwa manusia hidup dan di dalamnya
terdapat prinsip aktif di mana individu selalu cenderung untuk beraktivitas dan
berinteraksi dengan lingkungannya[40].
Dari
beberapa definisi belajar di atas, nampak adanya beberapa perbedaan, namun pada substansinya ada kesamaan pandangan
tentang bagaimana usaha mengaktifkan berpikir,
bereaksi, dan berbuat terhadap suatu objek yang dipelajari melalui berbagai aktivitas sehingga timbul suatu
pengalaman baru dalam diri seseorang.
b.
Pengertian Mengajar
Menurut
Nana Sudjana mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar, mengatur dan
mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat mendorong
dan menumbuhkan siswa untuk melakukan kegiatan belajar[41]. Sedangkan
menurut Sardiman AM mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang merangsang
serta mengarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang dapat membawa perubahan
tingkah laku dan kesadaran diri sebagai pribadi[42].
Dari
definisi mengajar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi pokok dalam
mengajar adalah menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif
dan banyak melakukan kegiatan adalah siswanya, dalam upaya menemukan dan
memecahkan masalah. Konsep mengajar ini memberikan indikator bahwa pengajaran
lebih bersifat pupilcentered sehingga tercapailah suatu hasil yang
optimal. Dengan kata lain, tercapainya hasil pembelajaran sangat dipengaruhi
oleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.
Dalam
proses pembelajaran harus terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik.
Interaksi itu dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah interaksi edukatif.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah[43] interaksi
edukatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Mempunyai tujuan
Tujuan dalam interaksi
edukatif adalah untuk membantu anak didik dalam suatu perkembangan tertentu.
Inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan tujuan dengan menempatkan
anak didik sebagai pusat perhatian sedangkan unsur lainnya sebagai pengantar
dan pendukung.
2.
Mempunyai prosedur yang direncanakan
Agar dapat mencapai
tujuan secara operasional maka dalam melakukan interaksi perlu ada prosedur
atau langkah-langkah sistematik dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan
pembelajaran yang satu dengan yang lain mungkin akan membutuhkan prosedur dan
desain yang berbeda-beda.
3.
Ditandai dengan penggarapan materi
khusus
Dalam hal materi harus didesain sedemikian rupa
sehingga cocok untuk mencapai
tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen pengajaran yang
lain, seperti tingkat perkembangan anak didik. Materi harus sudah didesain dan
disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi edukatif
4.
Ditandai dengan aktivitas siswa
Sebagai konsekuensi
bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak
bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Aktivitas siswa dalam hal ini, baik
secara fisik maupun mental. Peranan guru di sini hanya sebagai pembimbing yang
dapat mengarahkan siswa dan memberikan motivasi untuk mencapai hasil yang
optimal.
5. Guru
berperan sebagai pembimbing
Dalam peranannya
sebagai pembimbing guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi
agar terjadi proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai
mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru akan
merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh siswa.
6.Membutuhkan disiplin
Disiplin dalam
interaksi edukatif diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur
menurut ketentuan yang sudah ditaati dengan sadar oleh guru maupun siswa. Mekanisme
konkret dari ketaatan pada ketentuan itu akan terlihat dari pelaksanaan
prosedur. Jadi, langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur berarti suatu indikator
pelanggaran disiplin.
7. Mempunyai
batas waktu
Untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu dalam sistem
klasikal, batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditingggalkan.
Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan harus sudah tercapai.
8. Diakhiri
dengan evaluasi
Dari seluruh kegiatan
tersebut, masalah evaluasi merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan. Evaluasi harus guru lakukan untuk
mengetahui tercapai atau tidak tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
2.
Tujuan Proses Pembelajaran
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa proses belajar dan pembelajaran memiliki tujuan yang hendaknya dicapai.
Menurut Sardiman AM[44]
ada tiga jenis tujuanbelajar, yaitu:
Pertama,
untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Pemilikan
pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan.
Seseorang tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan,
sebaliknya kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang
memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya dalam kegiatan belajar. Dalam
hal ini peranan guru sebagai pengajar lebih menonjol.
Kedua,
penanaman konsep dan keterampilan. Keterampilan jasmani adalah keterampilan-keterampilan yang dapat
dilihat dan diamati sehingga akan menitik beratkan
pada keterampilan gerak/penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang
belajar. Sedangkan keterampilan rohani lebih rumit
karena tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang dapat
dilihat, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan penghayatan dan
keterampilan berpikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan
suatu konsep.
Ketiga,
pembentukan sikap. Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku, dan pribadi siswa,
guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu dibutuhkan
kecakapan mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak lupa menggunakan
pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model.
Dalam
interaksi edukatif guru akan senantiasa diobservasi, dilihat, didengar, dan ditiru semua perilakunya oleh para
siswanya. Pembentukan sikap mental dan perilakusiswa tidak akan terlepas dari
soal penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu, guru tidak hanyasebagai pengajar,
tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilaiitu kepada
siswanya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, siswa akan tumbuh kesadaran
dankemauannya, untuk mempraktekkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya.
Jadi,
pada intinya tujuan belajar itu adalah ingin mendapatkan pengetahuan, keterampilan
dan penanaman sikap mental dan nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berartiakan
menghasilkan hasil belajar. Relevan dengan uraian mengenai tujuan belajar
tersebut, maka hasil
belajar meliputi:
1. Keilmuan, pengetahuan, konsep atau fakta
(kognitif)
2. Personal, kepribadian atau sikap (afektif)
3. Kelakuan, keterampilan atau penampilan
(psikomotorik)
Nana
Sudjana[45]
menyatakan ada beberapa ciri yang harus tampak dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran secara optimal, yaitu:
1.
Situasi kelas menantang siswa melakukan kegiatan belajar secara bebas, tetapi terkendali
2.
Guru tidak mendominasi pembicaraan, tetapi lebih banyak memberikan rangsangan berpikir kepada siswa untuk memecahkan
masalah
3. Guru menyediakan dan mengusahakan sumber belajar
bagi siswa
4.
Kegiatan belajar siswa bervariasi, ada kegiatan untuk semua siswa, ada kegiatan kelompok, dan ada pula kegiatan mandiri.
5.
Hubungan guru dengan siswa sifatnya harus mencerminkan hubungan yang manusiawi bagaikan hubungan bapak dengan anak,
bukan hubungan pimpinan dengan bawahan.
6.
Belajar tidak hanya dilihat dan diukur dari segi hasil, tetapi juga dilihat dan
diukur darisegi proses belajar yang dilakukan siswa.
7.
Adanya keberanian siswa mengajukan pendapatnya melalui pertanyaan atau gagasannya, baik kepada guru maupun
kepada siswa lainnya.
8.
Guru senantiasa menghargai pendapat siswa, terlepas dari benar atau salah.
Bahkan guru harus selalu
mendorong siswa agar selalu mengajukan pendapatnya secara bebas.
3.
Fungsi Guru dalamProses Pembelajaran
Proses
dan hasil pembelajaran sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi
guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu
mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal. Anggapan
bahwa guru adalah satu-satunya sumber belajar, di lain pihak siswa hanya
menyimak dan mendengarkan informasi atau pengetahuan yang
diberikan gurunya sehingga guru mendominasi proses pembelajaran dari awal
sampai akhir adalah
anggapan yang salah. Bahkan kadang-kadang masih ada anggapan yang keliru bahwa siswa
dipandangnya sebagai objek sehingga siswa kurang dapat dikembangkan potensinya.
Dalam konsep belajar mengajar
siswa adalah subjek belajar, bukan objek. Siswa sebagai unsur pokok dan sentral,
bukan unsur pendukung dan tambahan. Yang penting dalam proses pembelajaran guru hanya membantu
menciptakan kondisi yang kondusif serta
memberikan motivasi dan bimbingan agar siswa dapat mengembangkan potensi
dankreativitasnya ke arah yang baik. Diharapkan dengan pola pembelajaran
seperti itu akan terbentuk
manusia-manusia yang aktif dan kreatif.
Peranan dan kompetensi guru dalam
proses pembelajaran meliputi banyak hal, yaitu
guru sebagai pengajar, pengelola kelas, pemimpin kelas, pembimbing,
pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, demonstrator, supervisor,
motivator dan konselor[46].
Yang akan dikemukakan di sini adalah peranan yang dianggap paling dominan dan diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Guru sebagai demonstrator
Sebagai demonstrator
guru dituntut mampu memperagakan materi yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya agar materi
yang disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh
siswa.
b. Guru sebagai pengelola kelas
Dalam hal ini guru
dituntut untuk menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam
kegiatan pembelajaran agar mencapai hasil yang baik. Guru juga bertanggung
jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk
belajar dan mengarahkan atau membimbing proses intelektualdan social di dalam
kelasnya. Guru hendaknya mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif dan
efisien dengan hasil optimal.
c. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru
hendaknya menciptakan kualitas lingkungan yang interaktif secara maksimal, mengatur arus kegiatan
siswa, menampung semua persoalan yang diajukan
siswa dan mengembalikan lagi persoalan tersebut kepada siswa yang lain untuk
dijawab dan dipecahkannnya, lalu guru bersama siswa harus menarik kesimpulan atas
jawaban masalah sebagai hasil belajar. Untuk itu guru harus terampil mempergunakan
pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Sedangkan
sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang
berguna serta dapatmenunjang pencapaian tujuan pembelajaran, baik yang berupa
nara sumber, buku teks, majalah, maupun suratkabar. Guru juga harus memberikan
fasilitas dan kemudahan dalam proses pembelajaran,
misalnya dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa
sehingga interaksi edukatif akan berlangsung secara
efektif.
d. Guru sebagai
motivator
Sebagai motivator guru
berperan dalam meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa.
Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta penguatan untuk
mengembangkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dank reativitas sehingga
terjadi dinamika dalam proses pembelajaran.
e. Guru sebagai
evaluator
Sebagai evaluator guru
hendaknya terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu.
Hasil evaluasi ini akan menjadi umpan balik (feed back) terhadap proses
pembelajaran. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan
meningkatkan proses pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian, proses
pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh
Perbedaan
fungsi guru sebagai fasilitator dan sebagai pengarah terletak baik dalam
orientasi maupun dalam perilaku. Seorang pengarah berdiri di depan anak dan
menekankan tujuan, keinginan, dan kebutuhannya kepada anak. Seorang fasilitator
berada di belakang anak, membimbingmereka untuk mencapai tujuan, keinginan dan
kebutuhannya. Pengarah
memberikan tugas, menentukan persyaratan, dan menilai hasil belajar. Seorang fasilitator membantu anak dalam
belajar mandiri, dalam menentukan tujuan sendiri, dan dalam memberi umpan balik
terhadap penilaian diri[47].
Jadi, dalam perannya sebagai fasilitator
seorang guru harus:
1. Mendorong belajar mandiri sebanyak mungkin
2. Dapat menerima gagasan-gagasan dari semua siswa
3.
Memupuk siswa untuk memberikan kritik secara konstruktif dan untuk memberikan
penilaian diri sendiri.
4.
Berusaha menghindari pemberian hukuman atau celaan terhadap ide-ide yang tidak
biasa
5. Dapat menerima perbedaan menurut waktu dan
kecepatan antarsiswa dalam kemampuan memikirkan
ide-ide baru.
Menurut
Gagne sebagaimana dikutip Muhibbin Syah[48],
setiap guru berfungsi sebagai:
1. Designer of instruction (perancang
pembelajaran)
Sebagai perancang
pengajaran guru harus mampu dan siap merancang kegiatan pembelajaran yang
berhasil guna dan berdaya guna. Rancangan kegiatan pembelajaran tersebut
sekurang-kurangnya meliputi: memilih dan menentukan bahan pelajaran, merumuskan
tujuan penyajian bahan pelajaran, memilih metode penyajian bahan pelajaran yang
tepat, dan menyelenggarakan kegiatan evaluasi prestasi belajar.
2. Manager of instruction (pengelola
pembelajaran)
Sebagai pengelola
pengajaran guru harus mampu mengelola (menyelenggarakan dan mengendalikan)
seluruh tahapan proses pembelajaran, di antaranya adalah menciptakan kondisi
dan situasi yang sebaik-baiknya agar para siswa dapat belajar dengan
sebaik-baiknya sehingga memungkinkan para siswa belajar secara berdaya guna dan
berhasil guna.
3. Evaluator of student learning achievement (penilai
prestasi belajar siswa)
Sebagai penilai
prestasi belajar guru harus selalu mengikuti perkembangan taraf kemajuan
prestasi belajar atau kinerja akademik siswa dalam setiap kurun waktu
pembelajaran. Hasil evaluasi hendaknya dijadikan feed back (umpan balik)
untuk melakukan penindaklanjutan proses pembelajaran. Dengan demikian, proses
pembelajaran tidak statis, tetapi terus meningkat kualitasnya.
4. Fungsi
Siswa dalamProses Pembelajaran
Siswa adalah salah satu
komponen manusiawi yang menempati posisi penting dalam proses pembelajaran
karena siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan
kemudian ingin mencapainya secara optinmal. Jadi, dalam proses pembelajaran
yang diperhatikan pertama kali adalah siswa, bagaimana keadaan dan
kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lainnya. Komponen–komponen
pendidikan yang lain sangat bergantung kepada kondisi siswa. Materi yang
diperlukan, metode yang akan digunakan, media yang akan dipakai, semua itu
harus disesuaikan dengan karakteristik siswa. Itulah sebabnya siswa menjadi
subjek dalam proses pembelajaran.
Memang
dalam berbagai pernyataan dinyatakan bahwa siswa sebagai kelompok yang belum
dewasa, baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, siswa memerlukan
bimbingan dan latihan serta usaha orang lain yang sudah dewasa agar ia dapat
mencapai kedewasaannya. Pernyataan bahwa siswa adalah manusia yang belum dewasa
bukan berarti bahwa siswa itu makhluk yang lemah. Siswa secara kodrati memiliki
potensi tertentu. Hanya saja ia belum mencapai tingkat optimal dalam
mengembangkan potensinya itu. Oleh karena itu, lebih tepat jika siswa dikatakan
sebagai subjek dalam proses pembelajaran.
Aktivitas
belajar siswa yang dimaksud di sini adalah aktivitas jasmaniah maupun aktivitas
mental. Aktivitas belajar siswa dapat digolongkan ke dalam beberapa hal, yaitu:
1.
Aktivitas visual (visual activities)
seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan demonstrasi
2.
Aktiviatas lisan (oral activities)
seperti bercerita, membaca sajak, tanya jawab, diskusi dan menyanyi
3.
Aktivitas mendengarkan (listening activities)
seperti mendengarkan penjelasan guru,ceramah, pengarahan
4. Aktivitas
gerak (motor activities) seperti senam, atletik, menari, melukis
5. Aktivitas menulis (writing activities)
seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat[49].
Setiap
jenis aktivitas tersebut di atas memiliki kadar atau bobot yang berbeda
bergantung pada segi tujuan yang akan dicapai dalam proses pembelajaran. Yang
jelas, aktivitas belajar siswa hendaknya memiliki kadar atau bobot yang lebih
tinggi.
Aktivitas
belajar siswa dapat dilakukan secara individual dalam arti siswa di kelas
dituntut untuk melakukan kegiatan belajar masing-masing, dapat dilakukan secara
klasikal artinya setiap siswa mempelajari hal yang sama dalam waktu yang sama
dan cara yang sama dan dapat dilakukan secara kelompok artinya siswa dihimpun
dalam satu kelompok dan setiap kelompok diberi masalah oleh guru untuk
dipecahkan bersama-sama.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini menuntut
peneliti memusatkan perhatian kepada suatu kasus pengembangan kreativitas dalam
proses pembelajaran secara intensif, terinci, dan mendalam di suatu madrasah. Jadi, penelitian ini adalah penelitian kasus.
Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa "penelitian kasus adalah suatu
penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu
organisasi, lembaga, atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka
penelitian kasus hanya meliputi subjek yang sangat sempit.
Ditinjau
dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam[50]".
Sumadi Suryabarata mengemukakan bahwa "tujuan penelitian kasus adalah
untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan
interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu kelompok, lembaga, atau
masyarakat.[51]
B. Kehadiran
dan Peran Peneliti di Lapangan
Dalam
penelitian ini peneliti memusatkan perhatian pada kasus tentang pengembangan
kreativitas dalam proses pembelajaran di MA Sejahtera. Dari subjek yang
diteliti itu dapat diperoleh data berupa uraian yang kaya dengan makna mengenai
kegiatan atau perilaku subjek yang diteliti persepsinya atau pendapatnya dan
aspek-aspek lain yang berkaitan dan diperoleh melalui
BAB
IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN
PENELITIAN
A. Profil
Sekolah
(a) Sejarah
Berdirinya MA SEJAHTERA
Madrasah
Aliyah Swasta
Sejahtera Pare berdiri tahun 2006. Berawal dari Guru-guru yang mengajar di
MAS Al-Ikhlas konflik antar guru dengan pihak yayasan (ketua Yayasan) terkait
kebijakan ketua yayasan yang sepihak dan akhirnya ada 10 guru yang
diberhentikan dengan hormat karena menolak kebijakan beliau.
Kesepuluh guru yang diberhentikan, antara lain :
1. Moh.
Rubah Besary, A.Md
2. Muntoha,
S.Ag
3. Moh.
Qomar, S.Ag
4. Imam
Shodiq, S.Pd. I
5. M.
Dhoifil Miftah
6. Marba’I,
S.Pd
7. Ani
Kumalasari
8. Ma’rufah,
S.Pd
9. Marlinda,
S.Pd
10. Ermi
Rosihin, S.Th.I
Ahirnya kesepuluh guru tersebut
mengadakan musyawarah untuk tetap mengabdi dalam dunia pendidikan dengan
membentuk madrasah baru. Hal tersebut didorong juga oleh para siswa yang
sepaham dengan kesepuluh guru tersebut. Dari situ dilakukan musyawarah secara
intensif dengan pihak-pihak terkait, dengan mengadakan pertemuan :
BAB
V
P
E N U T U P
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan data dan pembahasan sebagaimana telah dikemukakan pada bab IV dapat
ditarik kesimpulan bahwa proses pembelajaran
berpengaruh terhadap pengembangan kreativitas siswa di Madrasah Aliyah (MA)
Sejahtera Tulungrejo Pare-Kediri. Kreativitas siswa dapat berkembang dalam
proses pembelajaran karena guru mengajak siswa untuk aktif dengan gaya mengajar
yang partisipatif. Melihat berbagai upaya yang dilaksanakan guru dengan
melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, maka guru tersebut
dapat dikategorikan telah melaksanakan konsep pengembangan kreativitas sebagai
salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan.
Upaya-upaya
yang dilakukan guru dalam mengembangkan kreativitas siswa dalam proses
pembelajaran adalah:
1.
Memberi kebebasan penuh kepada siswa dalam belajar, misalnya guru memberi
kesempatan kepada mereka untuk bertanya, mengemukakan gagasan dan saran.
2.
Menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Hal ini tampak
pada penghargaan guru atas pendapat-pendapat yang dikemukakan siswa dan mereka
bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran..
3.
Penampilan guru yang demokratis, ramah, sabar, adil, konsisten, fleksibel,
ceria, penuh humor, akrab, dan selalu memberi perhatian kepada semua siswa.
4.
Tampaknya guru selalu memotivasi siswa untuk aktif dalam belajar dan membantu
mereka yang mengalami kesulitan belajar.
5.
Guru sering menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa
tidak jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran. Di antara metode yang
digunakan adalah metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, eksperimen,
sosiodrama, resitasi, latihan, problem solving, dan brain storming.
6.
Menggunakan berbagai media pembelajaran sehingga materi yang disampaikan mudah
dipahami siswa dan dapat merangsang siswa secara visual.
Tampaknya
guru juga berusaha menciptakan desain lingkungan belajar yang kondusif sehingga
proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Dalam
proses pembelajaran yang menunjang kreativitas siswa melakukan berbagai
aktivitas, yaitu:
1. Aktivitas
motorik, seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, demonstrasi, senam,
olahraga, dan menari.
2. Aktivitas lisan, seperti bercerita, tanya jawab,
diskusi, dan bermain peran.
3. Aktivitas mendengarkan seperti mendengarkan
penjelasan guru.
4. Aktivitas menulis, seperti mengarang dan membuat
puisi.
B.
Saran
Setelah
mencermati pelaksanaan program pengembangan kreativitas dalam proses pembelajaran
di MA Sejahtera peneliti mengemukakan beberapa saran, sebagai berikut:
1.
Untuk menciptakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas
siswa guru sebaiknya meningkatkan kualitas kompetensi dalam mengelola proses
pembelajaran tersebut, mulai dari menentukan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,
metode pembelajaran, media pembelajaran, desain lingkungan pembelajaran, dan
evaluasi pembelajaran. Komponen-komponen pembelajaran tersebut harus dirancang
sebaik mungkin sehingga kreativitas siswa dapat berkembang.
2.
Kepala madrsah hendaknya dalam melaksanakan tugas sebagai
supervisor yang diembannya selalu memperhatikan dan mampu mengoptimalkan sumber
daya yang dimilikinya guna meningkatkan kualitas proses pembelajaran di
madrasah yang dipimpinnya.
3.
Para guru hendaknya dalam menjalankan proses pembelajaran dapat mengamati para
siswanya sebagai pribadi yang unik dan memiliki berbagai potensi yang dapat
dikembangkan.
4.
Para siswa hendaknya tidak perlu takut, ragu, dan malu untuk berpartisipasi
aktif dalam mengikuti proses pembelajaran karena semua siswa memiliki potensi
untuk maju.
ABSTRACT
Eva Solina,
Developing Creativity in the Learning Process
Madrasah Aliyah
PROSPER Tulungrejo Pare-Kediri 2012-2013
This
research is motivated by three things: (1) the learning process in schools that
are obsessed with the cognitive aspects that lead to convergent thinking
patterns and processes, while the process of creative thinking, affective and
psychomotor aspects have received less attention.(2) The increasing advances in
technology and the increasing population and decreasing supply of natural
resources is very demanding creative adaptability and creative expertise to
find solutions.(3) Few met Indonesian people are creative so much unemployment
that relies heavily on existing jobs. They are not able to create their own
jobs.
There are
three classic problems faced by the education sector in Indonesia in the
development of creativity that has not been solved to date, namely: (1) lack of
a clear vision, mission, and purpose of the educational creativity, (2)
preparation of the curriculum does not meet the expectations and needs of
students as preparation materials, teaching methods, instructional media, and
system evaluation, (3) faculty and facilities inadequate, both in terms of
quality and quantity.
To address
all three problems in the quality of the learning process needs to be improved
both the quality and quality program implementation. In the effort to improve,
the managers of educational institutions need to look for strategic measures
which include the preparation of learning programs and efforts to increase
teachers 'competence in the development of students' creativity. Similarly,
teachers need to design the components of the learning process that can develop
students' creativity covering design learning environments, student activities,
methods and media learning, learning outcomes and evaluation techniques.
The program has been developed to be implemented in accordance
with the design.
Subsequently evaluated to determine the level of success, problems
encountered and solution step.
This qualitative study aimed to examine and analyze the
effectiveness of the learning process in the development of creativity in MA
SEJAHTERA Tulungrejo Pare-Kediri. This study uses a case study approach, given
the object under study consists of one unit or one unit is considered cases. Data
were collected by observation techniques, interviews, and documentation. The
population was 39 teachers and 307 students of the school, while the sample is
5 teachers and 153 second grade students are assigned by purposive sampling
approach considering the class I have long been a student at the school while
class III hectic final exams.
Results of this study concluded that the implementation of the
learning process in MA SEJAHTERA Tulungrejo Pare-Kediri tend to experience
positive development and has obtained good results in the development of
students' creativity. The indicator looks at: (1) the increasing graduate
junior high / MTs who sign up as a candidate for the new students, (2)
increasing the lowest passing grade UAN received as a freshman, (3) increase in
the average value obtained UAN grade III, (4) increasing the growth and
development of educational facilities, (5) increased acquisition championship
achievements in extracurricular areas, (6), the quality of graduates who go on
to college, even though the amount received either via SNCA PMDK and not
comparable to participants who register.
From the perspective of empowerment results of this study have
implications for the development of the learning process is the emergence of
widely shared awareness among educational administrators and teachers that the
learning process is not only to transfer knowledge, but also develop all
potential students, among them the creative potential of students.
Implications in particular for the development of students'
creativity is the awareness of educational administrators and teachers to
evaluate and restructure the 3 programs and their performance in order to
improve the quality of the learning process. At least this study provides
inputs for improving the quality of the learning process in MA SEJAHTERA
Tulungrejo Pare-Kediri in the future.
In the development of creativity, especially through the
learning process, the results of this study recommend to all interested parties
the following matters:
1. In order to anticipate the rapid
development of science and technology that greatly influence the thinking and
behavior of students, then the managers of educational institutions and
teachers need to create an atmosphere conductively school in an effort to
develop students' creativity.
2. In order to improve the quality
of the learning process, the managers of educational institutions and teachers
need to find the principles, strategies, and step-by-step development of the
learning process in their respective schools. As a first step the managers of
educational institutions need to immediately reposition the vision, mission,
and goals of learning processes and integrate them with the vision, mission,
and goals of each institution. While in programming learning, teachers need to
restructure the materials, teaching methodology and evaluation of existing
instruments.
3. Preparation of the national
curriculum should pay more attention to aspects of students ‘creativity in the
learning process, not only on students' mastery of subject matter.
4. In welcoming the government's
policy on Competency-Based Curriculum, the managers of educational institutions
and teachers to immediately formulate concepts and steps of the strategic
development process by providing a range of innovative learning.
5. Depdiknas and Depag need to do some research on the implementation of
the learning process in schools starting in elementary through high school
levels throughout Indonesia. The result is a real-time information that can be
used as an evaluation in the next educational programming.
[3] . Alfian, "Segi Sosial Budaya dari Kreativitas
dan Inovasi dalam Pembangunan", Femina, XIX,17, (Mei, 1991), h. 32
[4]
.SarlitoWirawan
Sarwono, Suara Pembaruan, (Jakarta), 27 Juni 1992, h. 105 G.A. Davis, Creativity
is Forever, (USA: Badger Press Cross Plans, 1981), h. 65
[5] . G.A. Davis, Creativity is
Forever, (USA: Badger Press Cross Plans, 1981), h. 65
[6]
.Conny
Semiawan, et.al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah,
(Jakarta: Gramedia, 1984) h.35-36
[7] . Sartono Kartodirdjo, Kompas,
(Jakarta), 23 Desember 1991, h. 23
[8] . John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 154
[9] . Lukman Ali, et.al., Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 530
[10] . Muhammad
Abdul Jawwad, Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas Berpikir, terjemahan
Fachruddin, (Bandung: Asy-Syamil, 2000), h. 3
[11] . Sudarsono, Kamus Filsafat
dan Psikologi, (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), h. 133
[12]
.S.C.
Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah,
(Jakarta: Grasindo, 1992), h. 47
[13]
.Julius
Chandra, Kreativitas: Bagaimana Menanam, Membangun, dan Mengembangkannya,
(Jakarta: Kanisius, 1994), h. 15
[14] .Julius Chandra, Kreativitas:
Bagaimana Menanam, Membangun, dan Mengembangkannya, (Jakarta: Kanisius,
1994), h. 17
[15] .Julius Chandra, Kreativitas:
Bagaimana Menanam, Membangun, dan Mengembangkannya, (Jakarta: Kanisius,
1994), h. 17
[16] . Joyce Wycoff, Menjadi Super Kreatif dengan
Metode Pemetaan Pikiran, terjemahan Rina S.Marzuki, (Bandung: Kaifa, 2002),
h. 43
[17]
. Joyce Wycoff, Menjadi
Super Kreatif dengan Metode Pemetaan Pikiran, terjemahan Rina S.Marzuki,
(Bandung: Kaifa, 2002), h. 43
[18] . Joyce Wycoff, Menjadi Super
Kreatif dengan Metode Pemetaan Pikiran, terjemahan Rina S.Marzuki,
(Bandung: Kaifa, 2002), h. 49-50
[19]
.Fuad
Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam
Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta:Menara Kudus, 2002), h. 44-49
[20] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana
Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 2002), h. 45-46
[21]
.Fuad Nashori dan Rachmy
Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam,
(Yogyakarta:Menara Kudus, 2002), h. 45-46
[35]
.Aminuddin
Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2002), h. 1
[36] . Aminuddin
Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2002), h. 3-4
[37] . Nana Sudjana,
Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar
Baru, 1989), h. 5
[38] . James O.Whittaker, Introduction
to Psychology, (Tokyo: Toppan Company Limited, 1970), h. 15
[39] . W.S.Winkel, Psikologi
Pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta; Gramedia, 1983), h.150
[40]
.M.
Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), h. 21-22
[41].Nana Sudjana, Cara Belajar
Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h.
7
[42] .Sardiman AM, Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.3
[43]
.Syaiful
Bahri Djamarah, Guru dan AnakDidik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), h. 15
[44] .Sardiman AM, Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 26
[45] .Nana Sudjana, Cara Belajar
Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h.
25
EmoticonEmoticon