Senin, 17 Oktober 2016

Pengembangan kreativitas dalam proses pembelajaran di madrasah aliyah sejahtera tulungrejo Pare-kediri

Tags

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang tidak dapat terlepas dari pengaruh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengaruh itu menuntut kemajuan dan kecanggihan cara berfikir manusia Indonesia sebagai pelaku pembangunan di tanah air. Krisis multi dimensional yang telah melanda Indonesia selama lima tahun terakhir mengakibatkan banyak masalah yang timbul yangmemerlukan pemecahan dalam upaya mempertahankan eksistensi Indonesia dalam peraturan dunia.
Upaya ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang mampu berperan aktif menjadi agen pembaharuan dan pengembangan kehidupan nasional dan internasional. Dalam UU NO.20/2003 dinyatakan bahwa "pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi mudadapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.[1]"
Realisasi tujuan pendidikan nasional tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab[2].

Salah satu barometer keberhasilan mewujudkan sumber daya manusia ditandai dengan meningkatnya kualitas pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih dinamis dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan tuntutan kehidupan yang serba seimbang dan selaras dalam tatanan nasional dan internasional.
Implikasi dari tujuan itu menuntut manusia berkualitas untuk senantiasa mampu memecahkan masalah hidupnya secara mandiri, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. Strategi untuk membawa manusia mampu menapaki kualitas hidupnya dapat dilakukan dengan pendekatan pembinaan secara simultan dan profesional.
Meningkatnya kemajuan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk serta berkurangnya persediaan sumber-sumber alam, yang diperparah oleh timbulnya berbagai bencana alam dan krisis moneter di negara-negara Asia sejak tahun 1997, sangat menuntut kemampuan adaptasi bangsa ini secara skreatif dan kepiawaian mencari pemecahan secara kreatif. Alfian dalam tulisannya yang berjudul "Segi Sosial Budaya dari Kreativitas dan Inovasi dalam Pembangunan" menyatakan bahwa "melalui kreativitas manusia atau masyarakat akan mampu melahirkan gagasan-gagasan tentang kualitas kehidupan yang lebih baik. Kreativitas memungkinkan manusia memiliki visi yang lebih jauh serta cakrawala lebih luas tentang berbagai aspek kehidupan yang lebih bermutu.[3]"
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, "gambaran manusia yang unggul mempunyaikemampuan yang tinggi dalam kepandaian, kreativitas, dan keterampilan, serta sikapyang dapat diandalkan.[4]" Dalam kenyataannya, ternyata kurang sekali ditemui manusia-manusia Indonesia yang kreatif pada masa kini. Sering kali seseorang hanyadapat meniru apa yang sudah ada dan kurang mampu mengemukakan pendapatnya sendiri yang baru dan orisinil. Begitu pula halnya dalam menghadapi suatu masalah, seseorang hanya terpaku pada satu cara yang lazim dan senantiasa digunakan dalam menyelesaikannya.
Pada hakikatnya setiap manusia sejak lahir memiliki kemampuan atau bakatkreatif, hanya saja derajatnya yang berbeda. Ada manusia yang memiliki tingkatkreativitas yang rendah dan ada pula yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi. Davis mengemukakan bahwa "kreativitas dapat diajarkan dan dilatih kepada setiap orang dan ada beberapa factor yang dapat meningkatkan kreativitas seseorang melebihi tingkat yang sudah ada sebelumnya.[5]" Conny Semiawan mengatakan bahwa "belajar kreatif berlaku untuk semua siswa, bukan hanya siswa yang berbakat saja. Semua siswa memiliki suatu potensi kreatif. Memang, kepemilikan potensi kreatif berbeda dari orang ke orang.  Ada yang memilikinya banyak, ada yang sedikit. Meskipun terdapat perbedaan tingkat pemilikan dari potensi kreatif, harus diakui bahwa semua siswamemiliki suatu potensi untuk belajar kreatif.[6]"
Bakat kreatif ini memerlukan pemupukan sedini mungkin, tepatnya sejak masak anak-kanak. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan berbagai kegiatan kreatif kepada anak yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Anak adalah potensi sumberdaya manusia yang merupakan penerus dan pemilik masa depan bangsa. Merupakan hal yang wajar bila sejak kecil seorang anak diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkan bakat kreatifnya, sehingga menjadi pola yang menetap dalam kehidupannya.
Pada kenyataannya, dewasa ini pendidikan formal di Indonesia lebih menekankan kepada pola dan proses berfikir yang konvergen, yaitu dalam memecahkan suatu masalah seseorang hanya menggunakan satu cara saja untuk memperoleh satu jawaban yang benar. Proses pemikiran yang tinggi termasuk berfikir kreatif tampaknya jarang dilatihkan. Hal ini disebabkan karena situasi pengajaran yang mencekam dan mencekik anak didik, di samping adanya kecenderungan memompa otak dan memori anak-anak dengan pendidikan verbalistis, yaitu menimbun otak dengan kata-kata, bukan pengertian.[7]"
Problematika kreativitas pendidikan di atas mendorong penulis untuk menelitinya dalam bentuk "tesis". Secara spesifik kajian ini diteliti untuk dielaborasi dengan pendekatan paedagogik karena mengandung berbagai alasan, yaitu:
1. Menurut analisis penulis adanya pengangguran, kenakalan remaja, tawuran pelajar, dan dekadensi moral merupakan indikasi semakin rendahnya tingkat kreativitas anak didik sehingga tidak ada kegiatan yang bermanfaat yang dapat mereka lakukan untuk mengisi waktu-waktu senggang.
2. Proses pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran, salah satu di antaranya adalah pengembangan kreativitas siswa.
3. Lingkungan madrasah dijadikan objek penelitian karena pendidik di madrasah telah dibekali seperangkat ilmu dan keterampilan tentang kependidikan dan peserta didik usia madrasah sedang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang dinamis.
4. Kreativitas dijadikan objek penelitian karena proses pembelajaran yang selama ini berlangsung di madrasah belum mampu meningkatkan kreativitas anak didik sehingga anak didik tidak mempunyai kepribadian yang kreatif. Realisasi langkah selanjutnya perlu dikembangkan suatu konsep proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas siswa di lingkungan madrsah sehingga dapat membentuk kepribadian yang kreatif. Dan pada akhirnya masalah pengangguran, kenakalan remaja, tawuran pelajar, dekadensi moral, narkoba dan pergaulan bebas seperti yang terjadi sekarang ini dapat diminimalisasi di masa mendatang.
Di samping itu, aspek ini diambil sebagai fokus pembahasan karena sebagian besar dari manuskrip yang muncul sekarang ini lebih banyak membahas hubungan proses pembelajaran dengan hasil belajar yang terutama mengukur kemampuan kognitif siswa. Sedangkan proses pembelajaran yang dihubungkan dengan pengembangan kreativitas, khususnya di madrasah belum banyak dijamah oleh peneliti lain.
B. Batasan dan RumusanMasalah
Berbagai masalah yang telah diidentifikasi di atas tampaknya sangat banyak dan kompleks. Penulis tentu tidak dapat meneliti seluruh masalah tersebut secara komprehensif. Oleh karena itu, penulis membatasi berbagai permasalahan tersebut pada permasalahan yang terkait dengan pengembangan kreativitas dalam proses pembelajaran di MA Sejahtera dalam hal ini dihubungkan dengan system pendidikan yang berlaku di madrasah tersebut selama kurun waktu penelitian.
Berbagai permasalahan yang akan diteliti terbatas pada upaya untuk mengetahuiefektivitas proses pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa di MA Sejahtera yang meliputi program pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa, upaya yang ditempuh kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi guru, usaha yang ditempuh guru dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa, desain lingkungan belajar dalam usaha pengembangan kreativitas, aktivitas siswa di madsarash dalam usaha pengembangan kreativitas, metode pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa, evaluasi hasil belajar untuk mengembangkan kreativitas siswa, kendala yang dihadapi dan langkah pemecahannya dalam upaya pengembangan kreativitas siswa, dan tingkat keberhasilan yang telah dicapai dalamupaya pengembangan kreativitas siswa.
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: "Bagaimanakah efektivitas proses pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa di MA Sejahtera.
Agar masalah tersebut dapat dijawab secara operasional, maka ruang lingkup penetapan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah program pembelajaran yang diterapkan untuk pengembangan kreativitas siswa?
2. Usaha apakah yang ditempuh guru dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Sesuai dengan masalah yang disebutkan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas proses pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa di MA Sejahtera. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui  program pembelajaran dalam pengembangan kreativitas siswa.
2. Untuk mengkaji usaha yang ditempuh guru dalam proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa.
2. Kegunaan Penelitian
        Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1.      Dapat berguna bagi pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kreativitas siswa
2.      Dapat berguna sebagai sumber rujukan bagi para praktisi pendidikan dalam menciptakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas siswa.
D. Definisi Operasional
Untuk menghindari salah tafsir maka penulis menyajikan batasan istilah sebagai berikut:
1.      Kreativitas adalah kemampuan untuk berkreasi, daya mencipta
2.      Proses pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.

BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengembangan Kreativitas
1.Pengertian Kreativitas
Istilah kreativitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu to create yang berarti menciptakan, menimbulkan, dan membuat. Dari kata to create terbentuk kata benda creativity yang berarti daya cipta[8]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kreativitas diartikan dengan kemampuan untuk mencipta, daya cipta, perihal berkreasi, dan kekreatifan[9]. Muhammad Abdul Jawwad mengartikan kreativitas secara etimologis dengan memunculkan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya[10].
Secara terminologis kreativitas memiliki banyak pengertian seperti yang
dikemukakan para tokoh berikut ini:
1.        Sudarsono mengartikan kreativitas adalah kemampuan mencipta atau kemampuan mencapai pemecahan/jalan keluar yang sama sekali baru, asli, dan imajinatif terhadap masalah yang bersifat pemahaman, filosofis, estetis ataupun yang lainnya[11].
2.  S.C. Utami Munandar mengartikan kreativitas adalah kemampuan membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada[12].
3. John W. Haefele dalam Creativity and Innovation mengartikan kreativitas adalah kemampunan membuat kombinasi-kombinasi baru yang bernilai sosial[13].
Dari definisi tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang bisa diterima oleh komunitas tertentu atau bisa diakui oleh mereka sebagai sesuatu yang bermanfaat.
Sesuatu yang diciptakan itu tidak perlu hal-hal yang baru sama sekali, tetapi merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Yang dimaksud dengan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada, dalam arti sudah ada sebelumnya, atau sudah dikenal sebelumnya adalah semua pengalaman yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya. Di sini termasuk segala pengetahuan yang diperolehnya, baik selama di madrasah maupun yang dipelajarinya dalam keluarga dan masyarakat[14]. Jelaslah, makin banyak pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang, makin memungkinkan dia memanfaatkan dan menggunakan segala pengalaman dan pengetahuan tersebut untuk bersibuk diri secara kreatif.
Berpikir kreatif atau berpikir divergen diartikan dengan kemampuan–berdasarkan data atau informasi yang tersedia–menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan dan keragaman jawaban. Makin banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap suatu masalah, makin kreatiflah seseorang. Tentu saja jawaban-jawaban itu harus sesuai dengan masalah-masalahnya. Jadi tidak semata-mata banyaknya jawaban yang dapat diberikan, tetapi juga kualitas atau mutu dari jawaban itu[15].
Joyce Wycoff mengartikan kreativitas dengan melihat hal-hal yang juga dilihat orang lain di sekitar kita, tetapi membuat keterkaitan–keterkaitan yang tak terpikirkan oleh orang lain[16]. Kreatif berarti mampu menemukan solusi yang baru dan bermanfaat. Orang yang kreatif membawa makna atau tujuan baru dalam suatu tugas, menemukan penggunaan baru, menyelesaikan masalah, atau memberikan nilai tambah ataukeindahan. Oleh karena itu, baik menjadi ibu rumah tangga maupun penulis, orang bisa kreatif. Kreativitas bermanfaat, baik bagi orang tua yang mengurus anaknya, seorang seniman yang sedang melukis, maupun pengusaha yang sedang menciptakan produk baru.
Mengembangkan kreativitas anak didik meliputi segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengembangan kognitif antara lain dilakukan dengan merangsang kelancaran, kelenturan, dan keaslian dalam berpikir. Pengembangan afektif, dilakukan dengan memupuk sikap dan minat untuk bersibuk diri secara kreatif. Pengembangan psikomotorik, dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilannya dalam membuat karya-karya yang produktif dan inovatif
2. Ciri-ciri Kepribadian Kreatif
Salah satu hal yang menentukan sejauh mana seseorang itu kreatif adalah kemampuannya untuk dapat membuat kombinasi baru dari hal-hal yang sudah ada. Orang yang kreatif dapat membuat aneka ragam benda dengan menggunakan bahan-bahan yang sudah ada, baik bahan itu masih terpakai atau sudah bekas. Karya-karya unggul hasil pemikiran para ilmuwan dan penemu pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali, tetapi merupakan kombinasi dari gagasangagasan atau unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas mereka terletak pada keberhasilan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya menjadi sesuatu yang bermakna dan bermanfaat.
Itu semua karena orang yang kreatif memiliki kebebasan berpikir dan bertindak. Kebebasan itu berasal dari diri sendiri, termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengendalikan diri dalam mencari alternatif yang memungkinkan untuk mengaktualisasikan potensi kreatif yang dimilikinya.
Joyce Wycoff[17] menyatakan sebagian besar penelitian menunjukkan empat ciri khas orang kreatif, yaitu:



1. Keberanian
Orang kreatif berani menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadapi resiko kegagalan. Mereka penasaran ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
2. Ekspresif
Orang kreatif tidak takut menyatakan pemikiran dan perasaannya. Mereka mau menjadi dirinya sendiri.
3. Humor
Humor berkaitan erat dengan kreativitas. Jika kita menggabungkan hal-hal sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda, tak terduga, dan tidak lazim, berarti kita bermain-main dengan humor. Menggabungkan berbagai hal dengan cara yang baru dan bermanfaat akan menghasilkan kreativitas.
4.    Intuisi
Orang kreatif menerima intuisi sebagai aspek wajar dalam kepribadiannya. Mereka paham bahwa intuisi umumnya berasal dari sifat otak kanan, yang memiliki pola komunikasi berbeda dengan belahan otak kiri.
Ciri psikologis lain yang umumnya dimiliki oleh orang kreatif sebagaimana diidentifikasi David N. Perkins adalah:
1.  Dorongan untuk menemukan keteraturan dalam keadaan kacau balau;
2.  Minat menemukan masalah yang tidak umum, juga penyelesaiannya;
3. Kemampuan membentuk kaitan-kaitan baru, dan menentang anggapan tradisional;
4. Kemampuan menyeimbangkan kreasi, gagasan dengan pengujian dan penilaian;
5. Hasrat untuk melenyapkan berbagai hal yang membatasi kemampuan mereka;
6. Termotivasi oleh masalah/tugas itu sendiri, bukannya oleh keuntungan lain, seperti uang, jabatan, atau popularitas[18].
Berdasarkan ciri-ciri orang kreatif di atas dapat dipahami bahwa apabila seseorang telah menemukan kreativitasnya, mereka cenderung menjadi mandiri karena memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu, percaya diri, berani mengambil risiko, memiliki kemauan yang tinggi dalam mencapai sesuatu, antusias/bersemangat, spontan, suka berpetualang, cermat, selalu ingin tahu, humoris, suka bermain, dan polos seperti anak-anak.
Ciri-ciri orang kreatif juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam berpikir. Orang yang kreatif mampu untuk berpikir kreatif. Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam[19] mengemukakan ada beberapa ciri dari kemampuan berpikir kreatif, yaitu:
1. Kelancaran berpikir (fluency of thinking)
Yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir yang ditekankan adalah kuantitas bukan kualitas.

2. Keluwesan (flexibility)
Yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervarisasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda, dan mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
3. Elaborasi (elaboration)
Yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
4. Keaslian (originality)
Yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa orang yang kreatif memiliki kelancaran dalam berpikir. Guilford[20] menyimpulkan bahwa ada empat bentuk kelancaran berpikir yangdimiliki oleh orang kreatif, yaitu:
1.      Kelancaran kata (word fluency), yaitu kemampuan untuk menghasilkan kata-kata dari satu huruf atau kombinasi huruf-huruf.


2. Kelancaran asosiasi (assosiational fluency)
Indikasi yang paling baik untuk kelancaran asosisasi adalah suatu tes yang meminta testi untuk menghasilkan persamaan sebanyak-banyaknya dari kata-kata yang diberikan dalam waktu yang terbatas. Kata-kata yang diberikan harus mempunyai arti.
3.Kelancaran ekspresi (expressional fluency)
Tes yang meminta testi untuk menghasilkan kalimat-kalimat. Ciri khas tes yang mengungkap kemampuan ini adalah kata-kata harusdisusun dengan cepat dan harus memenuhi syarat tata bahasa.
4.      Kelancaran gagasan (ideational fluency)
Yaitu kemampuan untuk menghasilkan ide-ideyang memenuhi beberapa syarat dalam waktu yang terbatas. Dalam setiap tes yang mengungkap kelancaran gagasan yang terpenting adalah kecepatan menjawab, sedangkan kualitas jawaban tidak begitu dipermasalahkan.
Mengenai keluwesan berpikir Guilford menyatakan bahwa orang kreatif adalah orang yang fleksibel dalam berpikir. Mereka dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantinya dengan cara berpikir baru dengan mudah. Oleh karena itu, Guilford kemudian meramalkan adanya faktor keluwesan atau flexibility sebagai salah satu faktor yang merupakan ciri kreativitas. Ada dua bentuk yang lebih spesifik dalam keluwesan berpikir, yaitu keluwesan spontan (spontaneous flexibility) dan keluwesan adaptif (adaptive flexibility). Perbedaan antara keduanya adalah pada keluwesan spontan orang tetap fleksibel meskipun tidak dituntut untuk fleksibel, sedangkan pada keluwesan adaptif orang akan fleksibel karena lingkungan menuntut demikian[21].
Kemampuan elaborasi dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui ketika seseorang menjelaskan sesuatu kepada orang lain menjadi lebih terinci, lebih mudah dipahami dan lebih menarik yang meliputi pengertian, bagian-bagian, sebab-sebab, serta akibat-akibat dari sesuatu.
Ciri-ciri afektif yang dimiliki oleh siswa adalah:
1.      Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu didefinisikan dengan selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak, mengajukan banyak pertanyaan, selalu memperhatikan orang, objek, dan situasi, dan peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui. Adapun perilaku yang tampak pada rasa ingin tahu adalah mempertanyakan segala sesuatu, senang menjajaki buku, peta, gambar, dan sebagainya untuk mencari gagasan baru, tidak membutuhkan dorongan untuk mencoba sesuatu yang belum dikenal, menggunakan semua panca inderanya untuk mengenal, tidak takut menjajaki bidang baru, ingin mengamati perubahan-perubahan, dan ingin bereksperimen dengan benda-benda mekanik.
2. Bersifat Imajinatif
Bersifat Imajinatif didefinisikan dengan mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum pernah terjadi dan menggunakan khayalan, tetapi mengetahui perbedaan antara khayalan dan kenyataan. Adapun perilaku yang tampak pada sifat imajinatif adalah memikirkan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum pernah terjadi, memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain, meramalkan apa yang akan dikatakan atau dilakukan orang lain, mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum terjadi, melihat hal-hal dalam suatu gambar yang tidak dilihat orang lain, dan membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi atau kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.
3.Merasa tertantang oleh kemajemukan
Merasa tertantang oleh kemajemukan didefinisikan dengan terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit, merasa tertantang oleh situasi yang sulit, dan lebih tertarik pada tugas yang sulit. Adapun perilaku yang tampak pada sikap merasa tertantang oleh kemajemukan adalah menggunakan gagasan atau masalah yang sulit, melibatkan diri dalam tugas yang majemuk, tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan keadaannya, mencari penyelesaian tanpa bantuan orang lain, tidak cenderung mencari jalan termudah, berusaha terus-menerus agar berhasil, mencari  jawaban-jawaban yang lebih sulit daripada menerima yang mudah, dan senang menjajaki jalan yang lebih rumit.
4. Berani mengambil risiko
Berani mengambil risiko didefinisikan dengan berani memberikan jawaban meskipun belum tentu benar, tidak takut gagal atau mendapat kritik, dan tidak menjadi ragu-ragu karena ketidak jelasan, tidak konvensional atau kurang berstruktur. Adapun perilaku yang tampak pada sikap berani mengambil risiko adalah berani mempertahankan gagasannya walaupun mendapat kritik,mengakui kesalahan-kesalahannya, berani menerima tugas yang sulit meskipun ada kemungkinan gagal, berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang tidak dikemukakan orang lain, tidak mudah dipengaruhi orang lain, melakukan hal-hal yang diyakini meskipun tidak disetujui sebagian orang, berani mencoba hal-hal baru, dan berani mengakui kegagalan dan berusaha lagi.
5. Sifat Menghargai
Sifat menghargai didefinisikan dengan dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup dan menghargai kemampuan dan bakat yang sedang berkembang. Adapun perilaku yang tampak pada sifat menghargai adalah menghargai hak-hak sendiri dan orang lain, menghargai diri dan prestasi sendiri, menghargai makna orang lain, menghargai keluarga, madrasah, dan teman-teman, menghargai kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab, tahu apa yang betul-betul penting dalam hidup, menghargai kesempatan yang diberikan, dan senang terhadap penghargaan yang diberikan kepada dirinya.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kreativitas
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga (orang tua), madrasah, dan masyarakat. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut berpengaruh dalam perkembangan anak, termasuk dalam hal kreativitas.


a. Lingkungan Madrasah
Dengan memasuki lingkungan pendidikan madrasah, seorang anak akan mengalami berbagai perubahan. Ia harus patuh pada tuntutan tokoh otoritas baru, yaitu guru. Ia banyak berkenalan dan berhubungan dengan banyak anak seusia. Untuk sementara waktu ia harus terpisah dari keluargaya. Semua itu akan membawa dampak yang besar terhadap sikap dan perilaku seorang anak.
Guru di madrasah memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan intelektual, emosional dan sosial siswa. Guru membantu pembentukan nilai-nilai padasiswa, misalnya nilai hidup, nilai moral, dan nilai sosial. Guru juga berperan dalam menentukan tujuan belajar, memilihkan pengalaman belajar, menentukan metode, dan strategi mengajar dan yang paling penting menjadi model perilaku bagi siswa.
Peranan guru tersebut tidak hanya berdampak pada prestasi belajar siswa, tetapi juga berdampak pada sikap siswa terhadap madrasah dan belajar pada umumnya. Guru dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, motivasi, harga diri, dan kreativitas dalam diri seorang siswa. Bahkan guru dapat berpengaruh lebih besar daripada orang tua karena guru mempunyai tugas mengevaluasi pekerjaan, sikap, dan perilaku siswa.
Mengenai peran guru terhadap pengembangan kreativitas siswa S.C. Utami Munandar mengemukakan bahwa guru dapat melatih keterampilan bidang pengetahuan dan keterampilan teknis dalam bidang khusus, seperti bahasa, matematika, atau seni. Guru juga dapat mengajarkan keterampilan kreatif seperti cara berpikir menghadapi masalah secara kreatif atau teknik-teknik untuk memunculkan gagasangagasan orisinil. Keterampilan ini dapat diajarkan secara langsung, tetapi paling baik disampaikan melalui contoh[22].
Cara yang paling baik bagi guru untuk mengembangkan kreativitas siswa adalah dengan mendorong motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik akan tumbuh jika guru menjadi model untuk motivasi intrinsik dengan mengungkapkan secara bebas keingintahuannya, minatnya, dan tantangan pribadi untuk memecahkan masalah atau melakukan tugas dan memungkinkan anak untuk bisa otonom sampai batas tertentu di kelas[23].
Seorang guru yang mendorong otonomi siswa menggunakan pendekatan member gagasan, saran, dan bimbingan, tetapi tidak memberi jawaban dan petunjuk  eksplisit dan hasilnya siswa menjadi sangat kreatif. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencetuskan gagasan sendiri. Ia mengatakan kepada siswa untuk bekerja sama bila mungkin dan perlu, tetapi menekankan bahwa setiap siswa mempunyai bakat dan kekuatannya sendiri-sendiri karena setiap siswa bersifat unik[24].
Setiap siswa harus belajar semua bidang keterampilan di madrasah , dan siswa memperoleh keterampilan kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif. Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari kemampuan berpikir dan bekerja kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar. Dalam suasana non-otoriter, ketika belajar atas prakarsa sendiri dapat berkembang karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan siswa untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan baru, dan ketika siswa diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebudayaannya, maka kemampuan kreatif dapat berkembang. Keadaan sebaliknya terjadi jika dalam proses pembelajaran siswa berada dalam suasana otoriter, yang terlalu didominasi oleh guru. Siswa merasa tertekan dan takut untuk mengemukakan pendapat. Siswa bekerja tidak sesuai dengan minat dan kebudayaannya sehingga kemampuan kreatif menjadi terhambat.
Dengan demikian, yang dapat dilakukan guru adalah mengembangkan sikap dan kemampuan siswa yang dapat digunakannya dalam menghadapi persoalan-persoalan dimasa mendatang secara kreatif dan inovatif. Memberikan bahan pengetahuan semata-mata tidak akan menolong siswa, karena belum tentu di masa mendatang ia dapat menggunakan pengetahuan tersebut.
Davis, sebagaimana dikutip S.C. Utami Munandar mengungkapkan ada beberapa sciri guru untuk membentuk siswa yang kreatif, yaitu demokratis, ramah dan memberi perhatian perorangan, sabar, minat luas, penampilan menyenangkan, adil, tidak memihak,mempunyai rasa humor, perilaku konsisten, memberi perhatian terhadap masalah anaksikap luwes, menggunakan pujian dan penghargaan, dan mempunyai kemahiran dalam mengajarkan subjek tertentu[25].
Dari ciri-ciri guru tersebut, jelas bahwa untuk membentuk siswa yang kreatif dibutuhkan guru yang tidak hanya menguasai bahan pelajaran, tetapi juga harus didukung oleh kepribadian yang baik dan kemampuan profesional seorang guru. Untuk itu, seorang guru harus selalu menambah ilmu dan pengalamannya serta mau belajar dari pengalamannya itu. Pengetahuan aktual yang dimiliki guru akan menarik minat siswasehingga pelajaran yang disampaikan guru akan menimbulkan rangsangan yang efektif bagi belajar siswa. Begitu pula dengan pujian yang diberikan guru akan memotivasi siswa untuk terus belajar. Lain halnya jika guru selalu mengkritik dan mencela, kreativitas dan keaktifan siswa, baik fisik maupun psikis akan terhambat.
Dalam kelas yang menunjang kreativitas, guru menilai pengetahuan dan kemauan siswa melalui interaksi yang berkesinambungan dengan siswa. Pekerjaan siswa dikembalikan dengan banyak catatan dari guru, terutama menampilkan segi-segi yang baik dan yang kurang baik dari pekerjaan siswa. Secara berkala guru memberikan catatan tentang kemajuan siswa untuk orang tua. Sebelum menulis laporan untuk orang tua, guru membicarakan secara perorangan dengan setiap siswa, dengan tidak hanya memberikan pendapat guru, tetapi juga meminta pandangan siswa[26].
Guru dapat pula mengikutsertakan siswa untuk menilai pekerjaan mereka sendiri. Selain itu, guru menunjukkan pengertian bahwa siswa mengalami masalah dalam mengerjakan soal-soal tertentu dan mengajaknya mencari cara lain supaya siswa dapat memahami kesalahan-kesalahan yang dibuat. Siswa juga harus memahami makna dari membuat kesalahan. Dari kesalahan itu siswa dapat belajar. Seyogianya siswa tidak perlu menyembunyikan kesalahan-kesalahannya atau merasa terganggu karenanya.

b. Lingkungan keluarga
Keluarga sebagai lingkungan terkecil dalam suatu masyarakat dan merupakan lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan manusia tak bisa diabaikan peranannya dalam mempengaruhi perkembangan fisik dan mental seseorang. Dalam interaksi sehari-hari seorang anak dengan orang tuanya akan membawa dampak yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangannya di masa mendatang.
S.C. Utami Munandar[27]mengemukakan ada beberapa sikap orang tua yang dapat memupuk kreativitas anak, yaitu:
1. Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya
2. Memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal
3. Membolehkan anak mengambil keputusan sendiri
4. Mendorong kemelitan (keingintahuan) anak untuk menjajaki dan mempertanyakan halhal
5. Meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa yang ingin dicoba dilakukan dan apa yang dihasilkan
6. Menunjang dan mendorong kegiatan anak
7. Menikmati keberadaannya bersama anak
8. Memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak
9. Mendorong kemandirian anak dalam bekerja
10. Menilai hubungan kerjasama yang baik dengan anak
Orang tua juga harus memperhatikan sikapnya yang dapat menghambat kreativitas anak sebagaimana diungkapkan S.C. Utami Munandar[28] sikap orang tua yang menghambat kreativitas anak tersebut adalah:
1. Mengatakan kepada anak bahwa ia dihukum jika berbuat salah
2. Tidak membolehkan anak marah kepada orang tua
3. Tidak membolehkan anak mempertanyakan keputusan orang tua
4. Tidak membolehkan anak bermain dengan anak dari keluarga yang mempunyai pandangan dan nilai yang berbeda dari keluarga anak
5. Anak tidak boleh berisik
6. Orang tua ketat mengawasi kegiatan anak
7. Orang tua memberi saran-saran spesifik tentang penyelesaian tugas
8. Orang tua kritis terhadap anak dan menolak gagasan anak
9. Orang tua tidak sabar dengan anak
10. Orang tua dan anak adu kekuasaan
11. Orang tua menekan dan memaksa anak untuk menyelesaikan tugas
Hendaknya orang tua dapat mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan mental dan suasana di mana anak merasa tertarik dan tertantang untuk mewujudkan bakat dan kreativitasnya. Menurut Utami Munandar[29] kondisi ini akan tercipta apabila:
1. Orang tua menunjukkan minat terhadap hobi tertentu, untuk membaca dan menyediakan cukup bahan bacaan yang bervariasi
2. Orang tua menyempatkan diri mendiskusikan dengan anak bacaan tertentu atau masalah-masalahyang terjadi dalam lingkungan mereka
3. Orang tua mengusahakan alat-alat permainan yang mendidik dan merangsang kreativitas anak. Permainan konstruktif yang memungkinkan anak berkreasi tidak perlu mahal, misalnya balok-balok kayu.
4. Orang tua menciptakan lingkungan rumah di mana orang tua berperan serta dalam kegiatan intelektual atau dalam permainan yang meningkatkan daya pikir anak, seperti main dam, main catur, dan sebagainya.
5. Orang tua menciptakan lingkungan di mana orang tua mengajak anak untuk menyanyi, menggambar, melukis, memainkan alat musik, dan sebagainya. Jadi, bukan kegiatan intelektual semata.
6. Tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya, orang tua dapat menjadikan rumah sebagai "pusat kreativitas" bagi anak, di mana anak sendiri atau bersama beberapa teman lainnya dapat bersibuk diri secara kreatif.
Orang tua hendaknya mau mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak. Pupuklah rasa ingin tahu anak dengan memberi jawaban-jawaban selengkap mungkin yang dapat diberikan. Berilah anak kesempatan untuk bermain dengan teman-temannya, bertemu dengan orang lain, dan melihat tempat-tempat yang dapat memuaskan rasa ingin tahunya dan yang dapat menantang kecerdasan dan kreativitasnya, seperti museum, perpustakaan, tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat kesenian, dan sebagainya.
Orang tua hendaknya mampu memupuk kemandirian, kepercayaan diri, dan rasa tanggung jawab anak. Oleh karena itu, jika anak ingin dan dapat melakukan sesuatu sendiri, berilah kesempatan kepada anak untuk melakukan hal itu. Penelitian–penelitiandi luar negeri menunjukkan bahwa ibu-ibu dari anak-anak yang kreatif membiarkan anak mengambil keputusan sendiri[30].
Dari uraian di atas, jelas bahwa untuk membentuk anak yang kreatif, lingkungan keluarga sangat berperan, khususnya orang tua yang merupakan pendidik utama dalam lingkungan keluarga. Untuk itu orang tua dituntut untuk bersikap dan berperilaku yang dapat menunjang kreativitas anak dan melengkapinya dengan sarana yang memadai.
c. Lingkungan masyarakat
Di samping lingkungan madrasah dan keluarga, kreativitas seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat karena setiap individu selaku makhluk social tidak dapat melepaskan dirinya dari pergaulan di masyarakat. Sebagai lingkungan yangterbesar, masyarakat membentuk satu kebudayaan yang dihasilkan dari berbagai pandangan dan cara hidup para anggotanya. Kebudayaan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam diri setiap individu dalam masyarakat itu.
Arieti sebagaimana dikutip Utami Munandar[31] mengemukakan ada sembilan factor sosiokultural yang dapat menunjang pengembangan kreativitas, yaitu:

1. Tersedianya sarana dan prasarana kebudayaan
2. Keterbukaan terhadap rangsangan kebudayaan
3. Penekanan pada becoming (menjadi, tumbuh), tidak semata-mata pada being (sekadar berada)
4. Kesempatan bebas terhadap media kebudayaan bagi semua warga, tanpa diskriminasi
5. Kebebasan dengan pengalaman tekanan dan rintangan sebagai tantangan
6. Menghargai dan dapat memadukan rangsangan dari kebudayaan lain yang berbeda, bahkan yang kontras sekalipun
7. Toleransi dan minat terhadap pandangan yang berbeda (divergen)
8. Interaksi antar pribadi yang berarti dalam pengembangan bakat
9. Adanya insentif, penghargaan, dan penguatan.
Tersedianya sarana dan prasarana kebudayaan akan memudahkan seseorang untuk mengembangkan bakat dan kreativitasnya. Seorang anak akan sulit mengembangkan kreativitasnya jika ia hidup dalam lingkungan masyarakat yang tidak memiliki sarana dan prasarana kebudayaan yang mendukung kreativitasnya itu. Begitu pula dengan kebudayaan yang hanya mengutamakan kepuasan dan kesenangan langsung tidak akan menumbuhkan kreativitas. Manusia yang kreatif menyadari bahwa kreativitas adalah sesuatu yang tumbuh dan membutuhkan masa kini maupun masa depan.
Masyarakat sebagai keseluruhan hendaknya memiliki toleransi terhadap ide-ide, cara-cara, dan pola-pola yang divergen karena hal itu akan berdampak positif bagi pengembangan kreativitas. Suatu ciptaan akan lebih dapat diterima dan dihargai bila orangdapat merasakan lebih banyak manfaat dari ciptaan itu. Orang pun akan merasa tergugah untuk terus berkarya jika ide dan karya yang dihasilkannya dihargai dan dimanfaatkan oleh orang secara luas.
Di samping faktor lingkungan yang merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kreativitas, faktor dari dalam diri individu (internal) juga berpengaruh kuat terhadap pengembangan kreativitas. Di antara faktor internal yang dapat mendukung pengembangan kreativitas adalah keterbukaan individu terhadap pengalaman sekitarnya, kemampuan untuk mengevaluasi hasil yang diciptakan, dan kemampuan untuk menggunakan elemen dan konsep yang ada.
Rogers sebagaimana dikutip Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam[32] mengatakan bahwa kondisi internal yang memungkinkan timbulnya proses kreatif adalah:
Pertama, keterbukaan terhadap pengalaman, terhadap rangsangan–rangsangan dari luar maupun dari dalam. Keterbukaan terhadap pengalaman adalah kemampuan menerima segala sumber informasi dari pengalaman hidupnya sendiri. Dengan demikian, individu yang kreatif adalah individu yang menerima dan menghargai perbedaan.
Kedua, evaluasi internal yaitu pada dasarnya penilaian terhadap produk karya seseorang terutama ditentukan oleh diri sendiri, bukan karena kritik dan pujian orang lain. Walaupun demikian, individu tidak boleh tertutup dari masukan dan kritikan orang lain.
Ketiga, kemampuan untuk bermain dan bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, dan konsep-konsep yang ada atau kemampuan untuk membentuk kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Orang yang memiliki ketiga kondisi di atas kesehatan psikologisnya sangat baik.
Orang ini dapat berfungsi sepenuhnya, menghasilkan karya-karya kreatif, dan hidup secara kreatif. Ia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri terhadap setiap situasi dan untuk melakukan apa yang perlu untuk mencapai tujuannya.
Faktor kepribadian juga turut berpengaruh terhadap kreativitas seseorang. Orang yang memiliki kepercayaan diri, kebebasan berekspresi, tegas dan terbuka tanpa mengecilkan dan mengesampingkan arti orang lain, dan berani bertanggung jawab akan berdampak positif bagi kelancaran berpikir, keluwesan berpikir dan originalitas[33]. Kepribadian mereka memungkinkan mereka bergerak ke berbagai sisi kehidupan jika situasi menuntut tanpa mengalami konflik dalam dirinya. Juga memiliki keinginan yang kuat untuk mencoba aktivitas baru yang menantang.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang mengubahnya." (QS Al-Ra'd: 11)
Mengenai anggapan bahwa inteligensi telah mencerminkan kreativitas seseorang tidak sepenuhnya benar. Walaupun inteligensi merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi kreativitas, tetapi peningkatan inteligensi tidak selalu diikuti oleh peningkatan kreativitas[34]. Hal itu dapat ditemui pada orang yang ber-IQ tinggi, ketika diberikan tes kreativitas, ternyata memperoleh skor yang rendah.
B. Proses Pembelajaran
1. Pengertian Proses Pembelajaran
Konsep belajar (learning) dan pembelajaran (instruction) merupakan dua buah konsep kependidikan yang saling berkaitan. Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik (guru) dan keduanya bisa berdiri sendiri dan juga menyatu, tergantung kepada situasi dari kedua kegiatan itu terjadi. Pembelajaran biasanya terjadi dalam situasi formal yang secara sengaja diprogramkan oleh guru dalam usahanya mentransformasikan ilmu kepada peserta didik, berdasarkan kurikulum dan tujuan yang hendak dicapai[35].
Melalui pembelajaran peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan rencana pengajaran yang telah diprogramkan. Dengan demikian, unsur kesengajaan melalui perencanaan oleh pihak guru merupakan ciri utama pembelajaran. Upaya pembelajaran yang berakar pada pihak guru dilaksanakan secara sistematis yaitu dilakukan dengan langkah-langkah teratur dan terarah secara sistematik yaitu secara utuh dengan memperhatikan berbagai aspek. Maka konsep belajar dan pembelajaran merupakan dua kegiatan yang berproses dalam suatu sistem[36].
Jadi, dapat disimpulkan bahwa fungsi pembelajaran adalah merangsang dan menyukseskan proses belajar dan untuk mencapai tujuan, sedangkan fungsi belajar adalah dapat memanfaatkan semaksimal mungkin sumber belajar untuk mencapai tujuan belajar, yaitu terjadinya perubahan dalam diri peserta didik. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konsep belajar dan pembelajaran , berikut dipaparkan kedua konsep itu.
a. Pengertian Belajar
Banyak ahli pendidikan yang mengemukakan tentang pengertian belajar. Menurut Kimble dan Garmezi sebagaimana dikutip Nana Sudjana bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan Garry dan Kingsley menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang orisinil melalui pengalaman dan latihan[37]. James O. Wittaker menyatakan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman[38]. Sedangkan Winkel mengartikan belajar adalah suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan atau skill, kebiasaan, atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan, dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif[39].
Dari definisi belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan melalui pengalaman dan latihan yang dilakukan manusia selama hidupnya melalui kegiatan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan kata lain, belajar itu akan menjadi lebih baik jika subjek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik.
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuan, sikap, tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Jadi, dengan proses belajar itu manusia akan mengalami perubahan secara menyeluruh meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah.  
Menurut teori Ilmu Jiwa Gestalt, belajar ialah mengalami, berbuat, bereaksi, dan berpikir secara kritis. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa jiwa manusia bukan terdiri dari elemen-elemen, tetapi merupakan satu sistem yang bulat dan berstruktur. Jiwa manusia hidup dan di dalamnya terdapat prinsip aktif di mana individu selalu cenderung untuk beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungannya[40].
Dari beberapa definisi belajar di atas, nampak adanya beberapa perbedaan, namun pada substansinya ada kesamaan pandangan tentang bagaimana usaha mengaktifkan berpikir, bereaksi, dan berbuat terhadap suatu objek yang dipelajari melalui berbagai aktivitas sehingga timbul suatu pengalaman baru dalam diri seseorang.
b. Pengertian Mengajar
Menurut Nana Sudjana mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar, mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa untuk melakukan kegiatan belajar[41]. Sedangkan menurut Sardiman AM mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku dan kesadaran diri sebagai pribadi[42].
Dari definisi mengajar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi pokok dalam mengajar adalah menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif dan banyak melakukan kegiatan adalah siswanya, dalam upaya menemukan dan memecahkan masalah. Konsep mengajar ini memberikan indikator bahwa pengajaran lebih bersifat pupilcentered sehingga tercapailah suatu hasil yang optimal. Dengan kata lain, tercapainya hasil pembelajaran sangat dipengaruhi oleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran harus terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Interaksi itu dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah interaksi edukatif. Menurut Syaiful Bahri Djamarah[43] interaksi edukatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.         Mempunyai tujuan
Tujuan dalam interaksi edukatif adalah untuk membantu anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan tujuan dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian sedangkan unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung.
2.         Mempunyai prosedur yang direncanakan
Agar dapat mencapai tujuan secara operasional maka dalam melakukan interaksi perlu ada prosedur atau langkah-langkah sistematik dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang lain mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda-beda.
3.    Ditandai dengan penggarapan materi khusus
Dalam hal materi harus didesain sedemikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen pengajaran yang lain, seperti tingkat perkembangan anak didik. Materi harus sudah didesain dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi edukatif
4.    Ditandai dengan aktivitas siswa
Sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Aktivitas siswa dalam hal ini, baik secara fisik maupun mental. Peranan guru di sini hanya sebagai pembimbing yang dapat mengarahkan siswa dan memberikan motivasi untuk mencapai hasil yang optimal.
5.   Guru berperan sebagai pembimbing
Dalam peranannya sebagai pembimbing guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru akan merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh siswa.
6.Membutuhkan disiplin
Disiplin dalam interaksi edukatif diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur menurut ketentuan yang sudah ditaati dengan sadar oleh guru maupun siswa. Mekanisme konkret dari ketaatan pada ketentuan itu akan terlihat dari pelaksanaan prosedur. Jadi, langkah-langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur berarti suatu indikator pelanggaran disiplin.
7.   Mempunyai batas waktu
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem klasikal, batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditingggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan harus sudah tercapai.
8.   Diakhiri dengan evaluasi
Dari seluruh kegiatan tersebut, masalah evaluasi merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan. Evaluasi harus guru lakukan untuk mengetahui tercapai atau tidak tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
2. Tujuan Proses Pembelajaran
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa proses belajar dan pembelajaran memiliki tujuan yang hendaknya dicapai. Menurut Sardiman AM[44] ada tiga jenis tujuanbelajar, yaitu:
Pertama, untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Pemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan, sebaliknya kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru sebagai pengajar lebih menonjol.
Kedua, penanaman konsep dan keterampilan. Keterampilan jasmani adalah keterampilan-keterampilan yang dapat dilihat dan diamati sehingga akan menitik beratkan pada keterampilan gerak/penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang belajar. Sedangkan keterampilan rohani lebih rumit karena tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang dapat dilihat, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan penghayatan dan keterampilan berpikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu konsep.
Ketiga, pembentukan sikap. Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku, dan pribadi siswa, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu dibutuhkan kecakapan mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model.
Dalam interaksi edukatif guru akan senantiasa diobservasi, dilihat, didengar, dan ditiru semua perilakunya oleh para siswanya. Pembentukan sikap mental dan perilakusiswa tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu, guru tidak hanyasebagai pengajar, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilaiitu kepada siswanya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, siswa akan tumbuh kesadaran dankemauannya, untuk mempraktekkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya.
Jadi, pada intinya tujuan belajar itu adalah ingin mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan penanaman sikap mental dan nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berartiakan menghasilkan hasil belajar. Relevan dengan uraian mengenai tujuan belajar tersebut, maka hasil belajar meliputi:
1. Keilmuan, pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif)
2. Personal, kepribadian atau sikap (afektif)
3. Kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik)
Nana Sudjana[45] menyatakan ada beberapa ciri yang harus tampak dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, yaitu:
1. Situasi kelas menantang siswa melakukan kegiatan belajar secara bebas, tetapi terkendali
2. Guru tidak mendominasi pembicaraan, tetapi lebih banyak memberikan rangsangan berpikir kepada siswa untuk memecahkan masalah
3. Guru menyediakan dan mengusahakan sumber belajar bagi siswa
4. Kegiatan belajar siswa bervariasi, ada kegiatan untuk semua siswa, ada kegiatan kelompok, dan ada pula kegiatan mandiri.
5. Hubungan guru dengan siswa sifatnya harus mencerminkan hubungan yang manusiawi bagaikan hubungan bapak dengan anak, bukan hubungan pimpinan dengan bawahan.
6. Belajar tidak hanya dilihat dan diukur dari segi hasil, tetapi juga dilihat dan diukur darisegi proses belajar yang dilakukan siswa.
7. Adanya keberanian siswa mengajukan pendapatnya melalui pertanyaan atau gagasannya, baik kepada guru maupun kepada siswa lainnya.
8. Guru senantiasa menghargai pendapat siswa, terlepas dari benar atau salah. Bahkan guru harus selalu mendorong siswa agar selalu mengajukan pendapatnya secara bebas.
3. Fungsi Guru dalamProses Pembelajaran
Proses dan hasil pembelajaran sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal. Anggapan bahwa guru adalah satu-satunya sumber belajar, di lain pihak siswa hanya menyimak dan mendengarkan informasi atau pengetahuan  yang diberikan gurunya sehingga guru mendominasi proses pembelajaran dari awal sampai akhir adalah anggapan yang salah. Bahkan kadang-kadang masih ada anggapan yang keliru bahwa siswa dipandangnya sebagai objek sehingga siswa kurang dapat dikembangkan potensinya.
Dalam konsep belajar mengajar siswa adalah subjek belajar, bukan objek. Siswa sebagai unsur pokok dan sentral, bukan unsur pendukung dan tambahan. Yang penting dalam proses pembelajaran guru hanya membantu menciptakan kondisi yang kondusif serta memberikan motivasi dan bimbingan agar siswa dapat mengembangkan potensi dankreativitasnya ke arah yang baik. Diharapkan dengan pola pembelajaran seperti itu akan terbentuk manusia-manusia yang aktif dan kreatif.
Peranan dan kompetensi guru dalam proses pembelajaran meliputi banyak hal, yaitu guru sebagai pengajar, pengelola kelas, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, demonstrator, supervisor, motivator  dan konselor[46]. Yang akan dikemukakan di sini adalah peranan yang dianggap paling dominan dan diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Guru sebagai demonstrator
Sebagai demonstrator guru dituntut mampu memperagakan materi yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya agar materi yang disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh siswa.
b. Guru sebagai pengelola kelas
Dalam hal ini guru dituntut untuk menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan pembelajaran agar mencapai hasil yang baik. Guru juga bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan atau membimbing proses intelektualdan social di dalam kelasnya. Guru hendaknya mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif dan efisien dengan hasil optimal.
c. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya menciptakan kualitas lingkungan yang interaktif secara maksimal, mengatur arus kegiatan siswa, menampung semua persoalan yang diajukan siswa dan mengembalikan lagi persoalan tersebut kepada siswa yang lain untuk dijawab dan dipecahkannnya, lalu guru bersama siswa harus menarik kesimpulan atas jawaban masalah sebagai hasil belajar. Untuk itu guru harus terampil mempergunakan pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Sedangkan sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapatmenunjang pencapaian tujuan pembelajaran, baik yang berupa nara sumber, buku teks, majalah, maupun suratkabar. Guru juga harus memberikan fasilitas dan kemudahan dalam proses pembelajaran, misalnya dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa sehingga interaksi edukatif akan berlangsung secara efektif.
d. Guru sebagai motivator
Sebagai motivator guru berperan dalam meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta penguatan untuk mengembangkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dank reativitas sehingga terjadi dinamika dalam proses pembelajaran.
e. Guru sebagai evaluator
Sebagai evaluator guru hendaknya terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Hasil evaluasi ini akan menjadi umpan balik (feed back) terhadap proses pembelajaran. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian, proses pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh
Perbedaan fungsi guru sebagai fasilitator dan sebagai pengarah terletak baik dalam orientasi maupun dalam perilaku. Seorang pengarah berdiri di depan anak dan menekankan tujuan, keinginan, dan kebutuhannya kepada anak. Seorang fasilitator berada di belakang anak, membimbingmereka untuk mencapai tujuan, keinginan dan kebutuhannya. Pengarah memberikan tugas, menentukan persyaratan, dan menilai hasil belajar. Seorang fasilitator membantu anak dalam belajar mandiri, dalam menentukan tujuan sendiri, dan dalam memberi umpan balik terhadap penilaian diri[47].
 Jadi, dalam perannya sebagai fasilitator seorang guru harus:
1. Mendorong belajar mandiri sebanyak mungkin
2. Dapat menerima gagasan-gagasan dari semua siswa
3. Memupuk siswa untuk memberikan kritik secara konstruktif dan untuk memberikan penilaian diri sendiri.
4. Berusaha menghindari pemberian hukuman atau celaan terhadap ide-ide yang tidak biasa
5.  Dapat menerima perbedaan menurut waktu dan kecepatan antarsiswa dalam kemampuan memikirkan ide-ide baru.
Menurut Gagne sebagaimana dikutip Muhibbin Syah[48], setiap guru berfungsi sebagai:
1. Designer of instruction (perancang pembelajaran)
Sebagai perancang pengajaran guru harus mampu dan siap merancang kegiatan pembelajaran yang berhasil guna dan berdaya guna. Rancangan kegiatan pembelajaran tersebut sekurang-kurangnya meliputi: memilih dan menentukan bahan pelajaran, merumuskan tujuan penyajian bahan pelajaran, memilih metode penyajian bahan pelajaran yang tepat, dan menyelenggarakan kegiatan evaluasi prestasi belajar.
2. Manager of instruction (pengelola pembelajaran)
Sebagai pengelola pengajaran guru harus mampu mengelola (menyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh tahapan proses pembelajaran, di antaranya adalah menciptakan kondisi dan situasi yang sebaik-baiknya agar para siswa dapat belajar dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan para siswa belajar secara berdaya guna dan berhasil guna.


3. Evaluator of student learning achievement (penilai prestasi belajar siswa)
Sebagai penilai prestasi belajar guru harus selalu mengikuti perkembangan taraf kemajuan prestasi belajar atau kinerja akademik siswa dalam setiap kurun waktu pembelajaran. Hasil evaluasi hendaknya dijadikan feed back (umpan balik) untuk melakukan penindaklanjutan proses pembelajaran. Dengan demikian, proses pembelajaran tidak statis, tetapi terus meningkat kualitasnya.
4.      Fungsi Siswa dalamProses Pembelajaran
Siswa adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi penting dalam proses pembelajaran karena siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optinmal. Jadi, dalam proses pembelajaran yang diperhatikan pertama kali adalah siswa, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lainnya. Komponenkomponen pendidikan yang lain sangat bergantung kepada kondisi siswa. Materi yang diperlukan, metode yang akan digunakan, media yang akan dipakai, semua itu harus disesuaikan dengan karakteristik siswa. Itulah sebabnya siswa menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Memang dalam berbagai pernyataan dinyatakan bahwa siswa sebagai kelompok yang belum dewasa, baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, siswa memerlukan bimbingan dan latihan serta usaha orang lain yang sudah dewasa agar ia dapat mencapai kedewasaannya. Pernyataan bahwa siswa adalah manusia yang belum dewasa bukan berarti bahwa siswa itu makhluk yang lemah. Siswa secara kodrati memiliki potensi tertentu. Hanya saja ia belum mencapai tingkat optimal dalam mengembangkan potensinya itu. Oleh karena itu, lebih tepat jika siswa dikatakan sebagai subjek dalam proses pembelajaran.
Aktivitas belajar siswa yang dimaksud di sini adalah aktivitas jasmaniah maupun aktivitas mental. Aktivitas belajar siswa dapat digolongkan ke dalam beberapa hal, yaitu:
1.        Aktivitas visual (visual activities) seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan demonstrasi
2.        Aktiviatas lisan (oral activities) seperti bercerita, membaca sajak, tanya jawab, diskusi dan menyanyi
3.        Aktivitas mendengarkan (listening activities) seperti mendengarkan penjelasan guru,ceramah, pengarahan
4.  Aktivitas gerak (motor activities) seperti senam, atletik, menari, melukis
5.  Aktivitas menulis (writing activities) seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat[49].
Setiap jenis aktivitas tersebut di atas memiliki kadar atau bobot yang berbeda bergantung pada segi tujuan yang akan dicapai dalam proses pembelajaran. Yang jelas, aktivitas belajar siswa hendaknya memiliki kadar atau bobot yang lebih tinggi.
Aktivitas belajar siswa dapat dilakukan secara individual dalam arti siswa di kelas dituntut untuk melakukan kegiatan belajar masing-masing, dapat dilakukan secara klasikal artinya setiap siswa mempelajari hal yang sama dalam waktu yang sama dan cara yang sama dan dapat dilakukan secara kelompok artinya siswa dihimpun dalam satu kelompok dan setiap kelompok diberi masalah oleh guru untuk dipecahkan bersama-sama.


BAB III
METODE PENELITIAN
A.  Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini menuntut peneliti memusatkan perhatian kepada suatu kasus pengembangan kreativitas dalam proses pembelajaran secara intensif, terinci, dan mendalam di suatu madrasah. Jadi, penelitian ini adalah penelitian kasus. Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa "penelitian kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga, atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi subjek yang sangat sempit.
 Ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam[50]". Sumadi Suryabarata mengemukakan bahwa "tujuan penelitian kasus adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu kelompok, lembaga, atau masyarakat.[51]
B.  Kehadiran dan Peran Peneliti di Lapangan
Dalam penelitian ini peneliti memusatkan perhatian pada kasus tentang pengembangan kreativitas dalam proses pembelajaran di MA Sejahtera. Dari subjek yang diteliti itu dapat diperoleh data berupa uraian yang kaya dengan makna mengenai kegiatan atau perilaku subjek yang diteliti persepsinya atau pendapatnya dan aspek-aspek lain yang berkaitan dan diperoleh melalui
BAB IV

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A.  Profil Sekolah
(a)   Sejarah Berdirinya MA SEJAHTERA
Madrasah Aliyah Swasta Sejahtera Pare berdiri tahun 2006. Berawal dari Guru-guru yang mengajar di MAS Al-Ikhlas konflik antar guru dengan pihak yayasan (ketua Yayasan) terkait kebijakan ketua yayasan yang sepihak dan akhirnya ada 10 guru yang diberhentikan dengan hormat karena menolak kebijakan beliau.
Kesepuluh guru yang diberhentikan, antara lain :
1.      Moh. Rubah Besary, A.Md
2.      Muntoha, S.Ag
3.      Moh. Qomar, S.Ag
4.      Imam Shodiq, S.Pd. I
5.      M. Dhoifil Miftah
6.      Marba’I, S.Pd
7.      Ani Kumalasari
8.      Ma’rufah, S.Pd
9.      Marlinda, S.Pd
10.  Ermi Rosihin, S.Th.I
Ahirnya kesepuluh guru tersebut mengadakan musyawarah untuk tetap mengabdi dalam dunia pendidikan dengan membentuk madrasah baru. Hal tersebut didorong juga oleh para siswa yang sepaham dengan kesepuluh guru tersebut. Dari situ dilakukan musyawarah secara intensif dengan pihak-pihak terkait, dengan mengadakan pertemuan :


BAB V

P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari pemaparan data dan pembahasan sebagaimana telah dikemukakan pada bab IV dapat ditarik  kesimpulan bahwa proses pembelajaran berpengaruh terhadap pengembangan kreativitas siswa di Madrasah Aliyah (MA) Sejahtera Tulungrejo Pare-Kediri. Kreativitas siswa dapat berkembang dalam proses pembelajaran karena guru mengajak siswa untuk aktif dengan gaya mengajar yang partisipatif. Melihat berbagai upaya yang dilaksanakan guru dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, maka guru tersebut dapat dikategorikan telah melaksanakan konsep pengembangan kreativitas sebagai salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan.
Upaya-upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran adalah:
1. Memberi kebebasan penuh kepada siswa dalam belajar, misalnya guru memberi kesempatan kepada mereka untuk bertanya, mengemukakan gagasan dan saran.
2. Menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Hal ini tampak pada penghargaan guru atas pendapat-pendapat yang dikemukakan siswa dan mereka bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran..
3. Penampilan guru yang demokratis, ramah, sabar, adil, konsisten, fleksibel, ceria, penuh humor, akrab, dan selalu memberi perhatian kepada semua siswa.
4. Tampaknya guru selalu memotivasi siswa untuk aktif dalam belajar dan membantu mereka yang mengalami kesulitan belajar.
5. Guru sering menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa tidak jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran. Di antara metode yang digunakan adalah metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, eksperimen, sosiodrama, resitasi, latihan, problem solving, dan brain storming.
6. Menggunakan berbagai media pembelajaran sehingga materi yang disampaikan mudah dipahami siswa dan dapat merangsang siswa secara visual.
Tampaknya guru juga berusaha menciptakan desain lingkungan belajar yang kondusif sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien. 
Dalam proses pembelajaran yang menunjang kreativitas siswa melakukan berbagai aktivitas, yaitu:
1.    Aktivitas motorik, seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, demonstrasi, senam, olahraga, dan menari.
2. Aktivitas lisan, seperti bercerita, tanya jawab, diskusi, dan bermain peran.
3. Aktivitas mendengarkan seperti mendengarkan penjelasan guru.
4. Aktivitas menulis, seperti mengarang dan membuat puisi.



B. Saran
Setelah mencermati pelaksanaan program pengembangan kreativitas dalam proses pembelajaran di MA Sejahtera peneliti mengemukakan beberapa saran, sebagai berikut:
1. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas siswa guru sebaiknya meningkatkan kualitas kompetensi dalam mengelola proses pembelajaran tersebut, mulai dari menentukan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, desain lingkungan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Komponen-komponen pembelajaran tersebut harus dirancang sebaik mungkin sehingga kreativitas siswa dapat berkembang.
2. Kepala madrsah  hendaknya dalam melaksanakan tugas sebagai supervisor yang diembannya selalu memperhatikan dan mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya guna meningkatkan kualitas proses pembelajaran di madrasah yang dipimpinnya.
3. Para guru hendaknya dalam menjalankan proses pembelajaran dapat mengamati para siswanya sebagai pribadi yang unik dan memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan.
4. Para siswa hendaknya tidak perlu takut, ragu, dan malu untuk berpartisipasi aktif dalam mengikuti proses pembelajaran karena semua siswa memiliki potensi untuk maju.

ABSTRACT
Eva Solina, Developing Creativity in the Learning Process
Madrasah Aliyah PROSPER Tulungrejo Pare-Kediri 2012-2013
This research is motivated by three things: (1) the learning process in schools that are obsessed with the cognitive aspects that lead to convergent thinking patterns and processes, while the process of creative thinking, affective and psychomotor aspects have received less attention.(2) The increasing advances in technology and the increasing population and decreasing supply of natural resources is very demanding creative adaptability and creative expertise to find solutions.(3) Few met Indonesian people are creative so much unemployment that relies heavily on existing jobs. They are not able to create their own jobs.
There are three classic problems faced by the education sector in Indonesia in the development of creativity that has not been solved to date, namely: (1) lack of a clear vision, mission, and purpose of the educational creativity, (2) preparation of the curriculum does not meet the expectations and needs of students as preparation materials, teaching methods, instructional media, and system evaluation, (3) faculty and facilities inadequate, both in terms of quality and quantity.
To address all three problems in the quality of the learning process needs to be improved both the quality and quality program implementation. In the effort to improve, the managers of educational institutions need to look for strategic measures which include the preparation of learning programs and efforts to increase teachers 'competence in the development of students' creativity. Similarly, teachers need to design the components of the learning process that can develop students' creativity covering design learning environments, student activities, methods and media learning, learning outcomes and evaluation techniques.
The program has been developed to be implemented in accordance with the design.
Subsequently evaluated to determine the level of success, problems encountered and solution step.
This qualitative study aimed to examine and analyze the effectiveness of the learning process in the development of creativity in MA SEJAHTERA Tulungrejo Pare-Kediri. This study uses a case study approach, given the object under study consists of one unit or one unit is considered cases. Data were collected by observation techniques, interviews, and documentation. The population was 39 teachers and 307 students of the school, while the sample is 5 teachers and 153 second grade students are assigned by purposive sampling approach considering the class I have long been a student at the school while class III hectic final exams.
Results of this study concluded that the implementation of the learning process in MA SEJAHTERA Tulungrejo Pare-Kediri tend to experience positive development and has obtained good results in the development of students' creativity. The indicator looks at: (1) the increasing graduate junior high / MTs who sign up as a candidate for the new students, (2) increasing the lowest passing grade UAN received as a freshman, (3) increase in the average value obtained UAN grade III, (4) increasing the growth and development of educational facilities, (5) increased acquisition championship achievements in extracurricular areas, (6), the quality of graduates who go on to college, even though the amount received either via SNCA PMDK and not comparable to participants who register.
From the perspective of empowerment results of this study have implications for the development of the learning process is the emergence of widely shared awareness among educational administrators and teachers that the learning process is not only to transfer knowledge, but also develop all potential students, among them the creative potential of students.
Implications in particular for the development of students' creativity is the awareness of educational administrators and teachers to evaluate and restructure the 3 programs and their performance in order to improve the quality of the learning process. At least this study provides inputs for improving the quality of the learning process in MA SEJAHTERA Tulungrejo Pare-Kediri in the future.
In the development of creativity, especially through the learning process, the results of this study recommend to all interested parties the following matters:
1. In order to anticipate the rapid development of science and technology that greatly influence the thinking and behavior of students, then the managers of educational institutions and teachers need to create an atmosphere conductively school in an effort to develop students' creativity.
2. In order to improve the quality of the learning process, the managers of educational institutions and teachers need to find the principles, strategies, and step-by-step development of the learning process in their respective schools. As a first step the managers of educational institutions need to immediately reposition the vision, mission, and goals of learning processes and integrate them with the vision, mission, and goals of each institution. While in programming learning, teachers need to restructure the materials, teaching methodology and evaluation of existing instruments.
3. Preparation of the national curriculum should pay more attention to aspects of students ‘creativity in the learning process, not only on students' mastery of subject matter.
4. In welcoming the government's policy on Competency-Based Curriculum, the managers of educational institutions and teachers to immediately formulate concepts and steps of the strategic development process by providing a range of innovative learning.
5. Depdiknas and Depag need to do some research on the implementation of the learning process in schools starting in elementary through high school levels throughout Indonesia. The result is a real-time information that can be used as an evaluation in the next educational programming.






[1] .Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor IV/MPR/1999, GBHN1999-2004,
[2] . Dewan Perwakilan Rakyat RI, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
[3] . Alfian, "Segi Sosial Budaya dari Kreativitas dan Inovasi dalam Pembangunan", Femina, XIX,17, (Mei, 1991), h. 32
[4] .SarlitoWirawan Sarwono, Suara Pembaruan, (Jakarta), 27 Juni 1992, h. 105 G.A. Davis, Creativity is Forever, (USA: Badger Press Cross Plans, 1981), h. 65
[5] . G.A. Davis, Creativity is Forever, (USA: Badger Press Cross Plans, 1981), h. 65
[6] .Conny Semiawan, et.al., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, (Jakarta: Gramedia, 1984) h.35-36
[7] . Sartono Kartodirdjo, Kompas, (Jakarta), 23 Desember 1991, h. 23
[8] . John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 154
[9] . Lukman Ali, et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 530
[10] . Muhammad Abdul Jawwad, Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas Berpikir, terjemahan Fachruddin, (Bandung: Asy-Syamil, 2000), h. 3
[11] . Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), h. 133
[12] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta: Grasindo, 1992), h. 47
[13] .Julius Chandra, Kreativitas: Bagaimana Menanam, Membangun, dan Mengembangkannya, (Jakarta: Kanisius, 1994), h. 15
[14] .Julius Chandra, Kreativitas: Bagaimana Menanam, Membangun, dan Mengembangkannya, (Jakarta: Kanisius, 1994), h. 17
[15] .Julius Chandra, Kreativitas: Bagaimana Menanam, Membangun, dan Mengembangkannya, (Jakarta: Kanisius, 1994), h. 17
[16] . Joyce Wycoff, Menjadi Super Kreatif dengan Metode Pemetaan Pikiran, terjemahan Rina S.Marzuki, (Bandung: Kaifa, 2002), h. 43
[17] . Joyce Wycoff, Menjadi Super Kreatif dengan Metode Pemetaan Pikiran, terjemahan Rina S.Marzuki, (Bandung: Kaifa, 2002), h. 43

[18] . Joyce Wycoff, Menjadi Super Kreatif dengan Metode Pemetaan Pikiran, terjemahan Rina S.Marzuki, (Bandung: Kaifa, 2002), h. 49-50
[19] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta:Menara Kudus, 2002), h. 44-49
[20] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta:Menara Kudus, 2002), h. 45-46
[21] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta:Menara Kudus, 2002), h. 45-46
[22] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 156
[23] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 37
[24] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 158
[25] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 144


[26] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 116

[27] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 137
[28] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 137
[29] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 71
[30] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit., h. 74

[31] .S.C. Utami Munandar, Kreativitas dan Keberbakatan, Op.Cit., h.176-181
[32] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Op.Cit., h.56-57
[33] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Op.Cit., h, 57
[34] .Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Op.Cit., h.53
[35] .Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2002), h. 1
[36] . Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2002), h. 3-4
[37] . Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 5
[38] . James O.Whittaker, Introduction to Psychology, (Tokyo: Toppan Company Limited, 1970), h. 15
[39] . W.S.Winkel, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta; Gramedia, 1983), h.150
[40] .M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 21-22
[41].Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 7
[42] .Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.3
[43] .Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan AnakDidik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 15
[44] .Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 26
[45] .Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 25
[46] .Mohammad Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), h. 9
[47] .S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Op.Cit.,h. 64
[48] .Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 250-252
[49] .Muhammad Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Op.Cit, h. 22
[50] .Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 129-130
[51] .Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 22


EmoticonEmoticon