Kamis, 05 Mei 2016

Inilah Tradisi Khanduri Apam di Aceh

Khanduri Apam dan Kearifan yang Hampir Punah

 Oleh M. Chandra Rizqi(*
Sebagai salah satu tradisi masyarakat Aceh, khanduri apam (kenduri apam) dilaksanakan setiap tahun bertepatan dengan isra’ mi’rajnya Nabi Muhammad SAW, pada tanggal 27 Rajab bertepatan dengan tanggal peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang dibawa oleh malaikat Jibril hingga sampai Shidratul Muntaha. 
Pada malam 27 Rajab tersebut masyarakat Aceh berkumpul di meunasah (tempat mengasah intelektual masyarakat Aceh yang berada di setiap Kampung/Desa sebelum adanya sekolah modern adopsi dari Belanda), meuseujid (mesjid) atau rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat isra’ mi’raj yang di sampaikan oleh Teungku-teungku (cerdik pandai Aceh) dalam bentuk syair prosa.
Tradisi Khanduri Apam
Apam adalah sejenis kue yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut Serabi. Orang Aceh sering menyebut bulan Rajab dengan bulan apam, karena pada bulan tersebut terdapat tradisikhanduri apam di setiap rumah, baik secara perorangan ataupun secara bersama. Mereka mengadakan upacara memasak apam (toet Apam) dan membuat kue apam bersama-sama. Apam yang terbuat dari bahan tepung beras dan santan tersebut dibentuk bulat seperti piring kecil dan dibawa sebagai kenduri ke mesjid dan meunasah. Kue apam ditumpuk diatas piring disertai sebuah mangkok seurawa (saus) yang terdiri dari santan, gula, dan telur dikocok.
 

Hasil gambar untuk sejarah khanduri apam
Kaum ibu membuat Apam ala modern
Selain sebagai makanan khas pada perayaan Rajab, kue apam secara mitos dipercaya oleh masyarakat Aceh dapat berpengaruh terhadap nasib seseorang yang telah meninggal. Maka selain untuk dibagi pada kenduri dalam bulan ke 7 dari tahun Hijrah, kue apam juga dapat ditemuai pada kenduru hari ke tujuh sesudah orang meninggal, dan setelah terjadinya gempa bumi. Peristiwa gempa bumi bagi oarang Aceh dipercaya dapat mengocok sisa-sisa mayat di dalam Kuburan.


Mitos yang kuat tentang khanduri apam juga diperkuat oleh Snouck Hurgronje, seorang penjajah Belanda yang pernah mempelajari Aceh. Dalam catatan Seunuet (panggilan untuk Snouck yang berarti cambuk, setelah dia diketahui hanya mempelajari Aceh untuk menjajah), khanduri apam menyimpan kisah mitos tentang seorang Aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur dengan cara membenamkan dirinya di dalamnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa apa saja saat di alam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan Munkar dan Nankir.  
Hasil gambar untuk sejarah khanduri apam
Toet Apam ngon on 'u
Seunuet juga mengisahkan bahwa dalam cerita itu seorang Aceh yang melakukan pengujian tersebut sempat diperiksa oleh malaikat mengenai agama dan amalnya, namun karena banyaknya kekurangan maka orang tersebut dipukul dengan pentungan besi. Pukulan tersebut tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan, hingga akhirnya ia berhasil keluar dari tempatnya yang sempit (kuburan) dan segera menemui anggota keluarganya yang terkejut melihatnya kembali. Beberapa saat setelah itu diapun bercerita mengenai pengalamannya pada keluarganya, saat itulah dia mengetahui bahwa sebuah benda perisai mirip bulan yang telah menolongnya sewaktu menghadapi pukulan dari kentongan tadi adalah sebagai wujud dari apam, makanan yang dibuatkan keluarganya saat dia sedang menguji dirinya dalam tanah.
Hasil gambar untuk sejarah khanduri apam
Khanduri pajoh Apam
Demikianlah bahwa kue apam mempunyai pengaruh yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik terhadap nasib mereka yang telah meninggal maupun bagi mereka yang masih hidup. Karena selain dipercaya dapat membantu orang yang telah tiada juga dapat membantu orang-orang yang kekurangan, serta dapat menguatkan tali silaturrahmi sesama umat Islam. Oleh sebab itulah dikatakan bahwa asal mulanya orang aceh membuat kue apam dan membagi-bagikannya pada hari-hari tertentu adalah sebuah hal yang harus dilakukan ulang.
 

Namun pada saat ini, telah jarang kita temui kenduri apam dilakukan oleh masyarakat Aceh. Hal ini dipengaruhi oleh sedikitnya pengetahuan dan kesadaran tentang betapa pentingnya sebuah budaya yang di dalamnya menyimpan nilai-nilai arif peninggalan endatu (nenek moyang) untuk dilestarikan. Kalaupun acara kenduri apam itu dilakukan saat ini, nuansa politis sangatlah kuat, dan pastinya kenduri tersebut sangatlah berbeda bila dibandingkan dengan muatan pada zaman dulu.* acehmediart.com


(* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, aktif di Seniman Perantauan Atjeh (SePAt).


EmoticonEmoticon