Senin, 02 Mei 2016

Berkunjung ke Bekas Rumah Snouck Hurgronje di Belanda

Asnawi Ali, Ketua Persatuan Masyarakat Aceh di Örebro, Swedia melaporkan dari Belanda


Asnawi Ali, Ketua Persatuan Masyarakat Aceh di Örebro, Swedia

BANGUNAN di kiri dan kanan sepanjang jalan pusat Kota Leiden Centraal itu tidak ada yang istimewa. Namun, bagi mereka yang berasal dari nusantara, mungkin akan merasa istimewa bila pertama kali melewati Jalan Rapenburg ini dipastikan akan memaling sesaat di nomor 61.

Bukan karena arsitektur bangunannya tetapi karena di depan atas pintu masuknya itu terukir sebuah nama dengan huruf kapital "SNOUCK HURGRONJE".

Meskipun tidak pernah berjumpa fisik, tapi siapa yang tidak mengenal dia. Di luar dari pro dan kontra terhadap "jasanya" terhadap Aceh, sebagai manusia asal Aceh rasanya saya ingin membunuh rasa penasaran yang selama ini menggayut dalam hati untuk melihat langsung bagaimana isi rumah Snouck Hurgronje itu.

Dalam sejarah Aceh, nama besarnya sering dikutip di hampir setiap buku sejarah, termasuk dalam lika-liku sejarah di nusantara.


Kesempatan berkunjung kerumahnya itu pada akhir Maret lalu tepatnya saat liburan hari Paskah di seluruh Eropa.

Terbang dari Swedia yang sebelumnya sudah menginap beberapa hari tinggal di sebuah hotel di Den Haag. Menumpang kereta api menuju Leiden pada siang harinya, persis habis disiram hujan gerimis, saya pergi sendiri dari Leiden Centraal dengan menyewa sebuah sepeda mencari alamat Rapenburg 61.

Tidak sulit mencarinya. Apalagi bila menanyakan kepada setiap orang arah mana jalan menuju Univeristas Leiden. Univeristas tertua di Belanda itu beralamat di Rapenburg 70 yang jaraknya hanya dua kali lemparan batu dari rumah Snouck Hurgronje.

Di depan rumahnya terbentang kanal mini dengan sesekali dilalui perahu wisata. Selain sepeda yang sangat banyak, ini adalah pemandangan biasa di negeri kincir angin itu.

Nah, bila pertama kali berkunjung dan masih ragu maka sangat mudah bila melihat gambar ruas jalan tersebut dari udara dengan bantuan Google Map. Kebetulan hari Selasa (29/3/2016) kala itu sudah dibuka aktivitas perkantoran paska liburan paskah.

Saya datang tanpa membuat appointment meskipun sebulan sebelumnya sudah pernah mengirim email menanyakan kepada Leids Universiteits Fonds (LUF) untuk memastikan hari apa dimulai lagi kerja setelah liburan paskah pada akhir Maret.  

Oya, rumah itu sebenarnya kini sudah disulap menjadi sebuah kantor yang dalam bahasa Melayu disebut Yayasan Dana Universitas Leiden.

Namun, entah karena untuk menghargai nama besar bekas pemilik rumah bersejarah terebut, nama Snouck Hurgronje dengan huruf kapital masih terpahat di depan atas pintu masuk rumah yang mempunyai tiga tingkat itu.

Setelah memencet bel keluar seorang wanita paruh baya menebar senyum menyapa dengan bahasa Belanda yang artinya mempersilahkan masuk. Saya tebak demikian karena bahasa Belanda ada sedikit kesamaan beberapa kata dengan bahasa Swedia namun tetap saya sampaikan "I'm Sorry, I can't speak Dutch" ujar saya.

"Where are you from?" tanya dia ramah.  

Saya terangkan bahwa saya sebagai turis. Kamera merek Nikon berwarna merah dan tas punggung yang dijinjing saya perlihatkan untuk meyakinkannya.

Setelah berbasi basi sejenak sambil menjelaskan bahwa rumah tersebut adalah sebuah kantor, dia meminta maaf bahwa tidak bisa mempersilahkan masuk tanpa ada temu janji sebelumnya.

Sambil memelas saya meminta sekali lagi agar diizinkan masuk sesaat saja karena sudah terbang jauh dari Swedia, bahkan hendak memperlihatkan paspor sebagai buktinya.

Tiba-tiba terdengar oleh seorang pria perlente berkacamata dan dasi biru ikut nimbrung bertanya.  Kebetulan sedang jam istirahat, dia ingin keluar kantor untuk mencari makan siang.

Lalu wanita setengah baya yang kemudian saya ketahui namanya, namun meminta agar tidak ditulis namanya dan dipotret itu berbicara dengan koleganya tersebut dalam bahasa Belanda. Beruntung, pria necis itu yang saya duga atasannya tadi mempersilahkan saya untuk melihat-lihat sejenak dengan dituntun tetapi hanya di tingkat satu saja, tidak naik ke tingkat dua dan tiga.

Sambil mengucapkan terima kasih dalam bahasa Belanda saya berusaha untuk bercanda.  Langsung saya dituntun ke lorong koridor menuju ruang utama sebelah kanan. Lantai koridornya bukan semen tetapi batu marmer warna kelabu.

"Ini ruang utama yang kerap digunakan untuk rapat", ujar wanita itu dalam bahasa Inggris.

Disamping terlihat balkon belakang rumah, dasarnya sudah dipenuhi lumut yang biasa tempat Snouck Hurgronje dulu beristirahat.

"Nah itu dia orangnya," sambil menunjuk foto orang yang dimaksud.  Karena saya datang sendiri, terpaksa saya meminta tolong petugas Leids Universiteits Fonds itu agar mengambil foto saya dengan latar belakang pigura Abdul Ghaffar atau di Aceh dulu disebut Teungku Puteh.

Dia menjelaskan siapa sosok orang tersebut meskipun sudah saya katakan bahwa saya sudah tau singkat siapa itu Christiaan Snouck Hurgronje.

Selain ilmuwan, tampaknya Snouck juga seorang pencinta seni. Ada beberapa lukisan besar yang diperkirakan sudah tua. Bahkan muka pintu yang dari kayu tebal bagian atas juga diukir menjadi lukisan bayi.

Bila saya bandigkan dengan foto hitam putih yang ada di internet, memang terlihat ada reparasi cat dan plester dinding rumahnya.

Kemudian, ada beberapa buah sal disitu. Meskipun persis seperti ruang tamu sebuah rumah tapi tidak ada TV dan sofa disana. Persamaan dengan rumah adalah adanya rak buku yang berisi penuh buku tebal.

Juga, lukisan di dinding beserta gaya arsitektur desain interior khas Eropa. Karya Snouck dalam bentuk buku bisa diketahui sangat mudah dengan bantuan mesin Google, bahkan ada yang sudah diterjemahkan sehingga bisa diunduh secara gratis melalui http://acehbooks.org

Nama Snouck tidak bisa dilupakan dalam sejarah Aceh. Dia punya saham yang sangat menyakitkan bagi rakyat Aceh yang tidak mungkin bisa dilupakan dengan alasan sejarah pahit itu sudah lama berlalu.

Begitu juga dengan pemerintah Belanda. Selama seminggu saya di negeri bekas penjajah itu, lebih daripada cukup bila saya bisa membuktikan bahwa mereka sudah melupakan dengan apa yang moyang mereka lakukan terhadap Aceh.

Bahkan pemerintah mereka sekalipun tidak mau bertanggung jawab sama sekali, meskipun dengan tanggung jawab moral.

Faktor utama itu dikarenakan warga Belanda khusunya ramai tidak mempercayai agamanya atau minimal agnostik yang cenderung hipokrit .

"Kepercayaan" utama mereka mayoritas bersikap pragmatis sehingga perasaan bersalah tanpa ada tanggung jawab moral itu akan sirna bila sejarah masa lalu dilupakan. Oleh karenanya,  mungkin kali terakhir inilah saya berkunjung ke negeri bekas penjajah itu.

Hampir tidak ada beda cara pandang generasi dulu dan kini yang semuanya bersembunyi dibalik kata "Masa lalu sudah berlalu dan sudah dilupakan".

Di  alamat Rapenburg 61 inilah dulunya Snouck menghabiskan masa tuanya hingga menjemput ajal pada 26 Juni 1936.

Tanggal ini sesuai dengan yang terukir di batu nisannya.  Snouck disemayam pada komplek tempat pemakaman umum (TPU) yang kuburanya terletak tidak jauh dari universitas Leiden.

Sebelum meninggalkan bekas rumahnya itu, saya diberi izin untuk mengambil beberapa potret lagi yang akan saya pajang di galeri foto Facebook saya.

Meskipun bisa dicomot dari Google, isi foto dan suasana rumahnya akan berbeda bila melihat langsung dengan menginjak kaki ke dalam rumahnya, termasuk kunjungan saya selanjutnya ke lokasi kuburan Snouck Hurgronje. (*)


EmoticonEmoticon